Festival Krakatau adalah festival yang digelar oleh pemerintah provinsi Lampung dengan tujuan untuk mempromosikan Lampung sebagai salah satu destinasi wisata di Indonesia. Festival ini telah diadakan sejak tahun 1991. Dengan demikian maka pada tahun 2016 ini masuk tahun ke-26 penyelenggaraan. Tagline yang diangkat adalah Lampung Krakatau Festival 2016, The Treasure of Sumatera.
Pada penyelenggaraan tahun 2016 ini ada banyak agenda yang digelar seperti Jelajah Sejarah, Jelajah Pasar Seni, Jelajah Layang-Layang, Jelajah Rasa, Jelajah Krakatau, dan Jelajah Semarak Budaya.
Saya bersyukur dapat menghadiri 3 dari rangkaian acara Festival Krakatau tersebut yaitu Jelajah Rasa, Jelajah Krakatau, dan Jelajah Semarak Budaya. Pada ketiganya saya menyimpulkan bahwa Provinsi Lampung ternyata merupakan salah satu provinsi yang sangat berpotensi untuk menjadi salah satu destinasi wisata terbaik di Indonesia bahkan dunia. Terutama karena nilai historis dari Gunung Krakatau itu sendiri dan karena keragaman adat budaya Lampung yang kaya. Menyesal karena saya sendiri baru pertama kali mengetahui berbagai adat budaya Lampung yang unik dan menarik saat mengikuti acara Jelajah Semarak Budaya. Pupus sudah bayangan dalam benak tentang Lampung yang hanya ada gajah Waykambas dan Lumba-Lumba di Teluk Kiluan.
Pada 27 Agustus 2016, dimana waktu yang diagendakan untuk Jelajah Krakatau tiba, saya dan 9 orang blogger lainnya sejak jam 6 pagi sudah hadir di Lapangan Korpri Kota Bandar Lampung. Tempat yang menjadi titik kumpul peserta Tour Jelajah Gunung Anak Krakatau.
Seperti kisah sebelumnya yang saya ceritakan di tulisan berjudul Mengenal Lampung melalui Event Krakatau Festival 2016 saya bergembira telah melewati perjalanan bersama blogger-blogger kece berikut ini:
1. Arie Goiq dari Jakarta
2. Atanasia Rian dari Jogjakarta
3. Dian Radiata dari Batam
4. Hari JT dari Bangka Belitung
5. Haryadi Yansyah dari Palembang
6. Indra Pradja dari Lampung
7. Katerina dari Jakarta
8. M. Arif Rahman dari Palembang
9. Rosanna Simanjuntak dari Balikpapan
Sambil menunggu peserta lain
datang, kami menghabiskan waktu dengan memotret sana-sini, berfoto ria dengan
berbagai gaya. Gaya selfie, wefie, levitation, manja-manja ala dede gemes, dan gaya yang terkadang bikin eneg orang lain karena isinya hanya muka lagi muka
lagi. Kapan motret pemandangan Lampungnya Kak?
Ah haha, tenang masih pagi. Kita masih punya waktu 12 jam ke depan untuk
meng-explore sudut-sudut Lampung yang tersembunyi.
Tepat pukul 07:00 WIB setelah
berfoto-foto di tepi jalan yang lengang, kami diarahkan panitia untuk menaiki
bis nomor 1. Sementara bis nomor 2 dan 3 masih menunggu para peserta Jelajah
Krakatau lainnya yang belum datang. Bis Nomor 4 malah tidak tampak sama sekali di situ. Setelah para penumpang bis 1 diabsen oleh seorang
panitia yang memperkenalkan dirinya bernama Rahmi, bis mulai melaju menyusuri jalanan Kota Bandar
Lampung yang masih sepi.
Beberapa saat setelah bis
melaju, di bagian depan bis berdiri seorang pria paruh baya yang
memperkenalkan diri bernama Agus Salim. Setelah perkenalannya, Pak Agus mulai
bercerita dan menerangkan mengenai tempat-tempat yang kami lalui. Seperti nama
daerah yang dilalui, mata pencaharian penduduk, bangunan-bangunan penting,
fasilitas umum, dan lainnya. Ia juga menyampaikan kalau kehidupan beragama di
Lampung sangat menjunjung tinggi
toleransi antar umat sehingga jarang terjadi bentrok atau cekcok antar warga
berkaitan isu-isu SARA.
Jelajah Krakatau tahun ini akan dimulai dari Pantai Sari Ringgung, Kabupaten Pesawaran yang berjarak 40 menit dari Kota Bandar Lampung. Tahun sebelumnya, Jelajah Krakatau dimulai dari Pantai Canti di Kalianda dimana perjalanan daratnya lebih jauh dibanding dengan Pantai Sari Ringung. Namun perjalanan lautnya justru lebih pendek. Sebaliknya perjalanan darat menuju Sari Ringgung terbilang dekat namun perjalanan lautnya sangat lama. Dengan kondisi cuaca teduh dan tak berombak saja kapal kami baru sampai di Pulau Krakatau setelah 5 jam pelayaran.
Ketika turun dari bis dan tiba di Pantai Sari Ringgung, saya terpesona dengan bukit-bukit yang terletak hanya beberapa puluh meter dari bibir pantai. Sebagai penyuka ketinggian, saya berharap untuk bisa menaiki bukit tersebut. Di puncak bukit tampak bendera Merah Putih berkibar, menggapai-gapai tertiup semilir angin yang berhembus dari laut. Seandainya saya punya banyak waktu di sini, tentu memandang Teluk Lampung dari atas bukit akan sangat menyenangkan dan tak terlupakan.
Suara panggilan untuk berkumpul datang
dari pengeras suara. Seorang Bapak paruh baya memanggil kami untuk berbaris
menghadap ke arahnya. Acara protokoler semi formal pun dimulai dengan sambutan Gubernur Provinsi Lampung yang disampaikan oleh asistennya. Setelah
sambutan, acara dilanjutkan dengan berdo’a dipimpin
oleh seorang ustadz.
Selesai acara seremonial,
peserta dari bis 4 dipersilahkan berangkat terlebih dahulu untuk menaiki
perahu-perahu hias dimana mereka akan disebrangkan menuju kapal besar berwarna
putih bertuliskan Teluk Lampung (TL). Kapal sejenis mini cruise tersebut tidak bisa
menepi terlalu dekat dengan dermaga karena perairan teluk terlalu dangkal untuk
kapal sebesar TL.
Dari awal pengarahan oleh pembawa
acara, ia sudah menyatakan bahwa perahu-perahu kami nanti akan menuju mesjid
terapung terlebih dahulu. Dari mesjid terapung selanjutnya akan berpindah ke kapal-kapal besar. Sesuai arahan pertama, maka perahu yang saya tumpangi berhenti
di mesjid terapung. Mesjid paling unik yang pernah saya temui. Unik karena mesjidnya terapung dan melayang di atas permukaan laut. Seandainya punya
banyak waktu untuk berhenti di sana, saya ingin sekali berlama-lama dan
berbicara dengan para pengurus mesjidnya. Bertanya tentang ide pembuatan mesjid ini yang sangat
berani dan brilian. Sunguh menarik membayangkan duduk-duduk di beranda mesjid menjelang sholat
maghrib sambil memandang pesona Teluk Lampung dalam balutan lembayung senja.
![]() |
Mesjid Terapung |
Sambil menunggu antrian
penumpang perahu yang sedang loading ke Kapal Teluk Lampung, perahu hias kami berputar-putar
mengelilingi kapal sambil terus menjaga jarak agar tidak terlalu dekat. Kapal
Teluk Lampung yang kami putari tampak gagah, menawan dan elegan. Keberadaannya di perairan ini bagaikan burung Flamingo diantara para itik burik. Atau bagaikan Snow White diantara 7 kurcaci. Beda dan sangat tidak sebanding.
Sebuah teriakan sambung
menyambung dan dengan kode bahasa tubuh ala sandi morse dari orang-orang di
Kapal Teluk Lampung mengisyaratkan bahwa kapal besar itu sudah penuh. Dengan berat hati, maka perahu kami pun dibelokkan menuju kapal kayu yang tidak
terlalu jauh dari lokasi kami berputar-putar.
Deru mesin kapal kayu yang terletak di lambung kapal cukup memekakkan telinga. Namun beberapa saat kemudian telinga kami sudah mulai terbiasa. Beberapa teman langsung duduk dan berbaring di selembar tikar yang tersedia tak juh dari ruang kemudi. Saya, Indra dan Dian memilih duduk di bagian atas kapal dimana suara bising dan guncangan ombak tidak terlalu terasa. Kami bertiga duduk di bagian atap kapal bersama beberapa orang wartawan dan rombongan Adis Takdos.
Setengah jam pertama, kami masih menikmati indahnya Teluk Lampung yang misty dengan pulau-pulau dan gerumul daratan di batas pandangan ke belakang. Satu jam selanjutnya masing-masing telah larut dalam mimpinya. Dian dan Indra yang masih rebah-rebahan langsung tertidur pulas. Sementara saya hanya duduk bersila sambil melihat-lihat pemandangan. Satu jam terasa cukup bosan. Saya pun ikut berbaring dengan berbantalkan ban yang tergeletak tak jauh dari tempat kami duduk. Namun menunggu kantuk datang sama membosankannya dengan duduk bengong tidak ada yang dilakukan.
Jam 9.50 sebuah kapal karet datang merapat. Kapal pun berhenti sejenak. Seseorang dari kapal karet berteriak bertanya tentang berapa orang penumpang kapal. Seorang ABK menjawab dengan ragu. Kelak jawaban ini yang membuat beberapa teman tidak kebagian makan siang.
Satu jam berlalu, kapal polisi bernama Albatros 3001 yang terakhir berangkat sudah menyusul kami. Tinggallah kami dengan laju kapal yang tidak seberapa. Sejam kemudian saya membangunkan Dian dan Indra untuk makan. Sambil makan saya dan Dian menduga-duga tentang berapa lama lagi perjalanan. Kata Indra yang pernah beberapa kali berkunjung ke Krakatau jika kita sudah dekat dengan Krakatau, maka pemandangan di sekeliling tidak akan terlihat. Apa? Mendadak lemas. Baiklah, saya pun membereskan nasi kotak yang isinya masih utuh. Hanya dicolek satu dua sendok saja. Sungguh makan yang sangat tidak berselera.
Seorang lelaki berusia 40 tahunan duduk di samping kami. Dia bilang cukup lelah mengendalikan kemudi kapal. Saya dan Dian langsung menyadari bahwa ia adalah nakhoda kapal. Kami pun terlibat obrolan yang cukup lama. Saya menanyakan tentang kapal ini biasanya digunakan untuk apa. Dari keterangan yang sang nakhoda kapal ceritakan, kapalnya biasa digunakan untuk mengangkut hasil bumi dari Pulau Sebesi ke Pelabuhan Canti di Kalianda. Lelah dengan obrolan, kami pun memilih diam. 4 jam perjalanan laut sungguh terasa mulai sedikit membosankan. Karena hanya laut dan laut yang ada dalam penglihatan. Untuk menghilangkan rasa bosan saya dan Dian iseng foto-foto wajah dengan memakai kacamata. Dan ini hasilnya :D
Waktu berlalu secara perlahan, dari kejauhan mulai tampak pucuk gunung menyembul di batas cakrawala. Saya dan Dian menduga bahwa itu adalah puncak Gunung Anak Krakatau. Namun Indra segera membantah. Ia bilang itu adalah puncak gunung di Pulau Sebesi. Dan masih satu jam perjalanan lagi menuju Gunung Anak Krakatau.
Menuju Anak Krakatau
Tepat jam 14.05 kapal kayu berhenti. Sebuah kapal kecil mirip sekoci yang akan membawa kami ke tepi pantai mendekat. Satu persatu kami pun dipindahkan dan menginjakkan kaki di Pulau yang penuh dengan catatan dan torehan sejarah ini.
Saya menghela nafas panjang sambil menapaki pasir hitam yang terjilat-jilat lidah ombak. Bahagia rasanya menginjakkan kaki di titik nol untuk memulai pendakian menuju gunung yang selama bertahun-tahun dimimpikan.
Beberapa kelompok orang terlihat sedang beristirahat di bangku-bangku di bawah pohon ketapang dan pohon cemara. Di sisi kanan pantai terdapat sebuah rumah sederhana yang dijadikan tempat tinggal para petugas BKSDA (Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam) Lampung selama bertugas di pulau ini. Tak jauh dari halaman rumah terdapat toilet berdinding terpal yang kami gunakan untuk menumpang pipis dan mengambil air wudhu dari sumur. Uniknya air sumur di sini hangat. Sepertinya karena aktifitas pemanasan di dalam perut bumi pulau Anak Krakatau yang masih aktif bekerja. Di rumah petugas BKSDA itulah kami menumpang sholat dzuhur sekaligus jama ashar.
Usai sholat, kami segera menuju jalur pendakian. Seorang panitia memanggil saya dan memperkenalkan dengan seorang petugas BKSDA yang akan menemani kami menuju puncak satu. Menurut penuturan yang disampaikan Mas Yoppie dan Indra, kami dilarang untuk sampai di puncak utama karena masih sangat berbahaya. Kami hanya diperbolehkan mencapai puncak satu atau lebih tepatnya seperti lereng gunung.
Saya berada di rombongan paling belakang. Namun beberapa menit kemudian dapat menyusul Mas Yoppie, Mbak Rien, Mbak Ros, dan Rian. Karena harus segera turun, saya pun terus melanjutkan perjalanan tanpa beristirahat karena dari pengeras suara terdengar panitia sudah memanggil-manggil peserta Tour Krakatau yang rombongan kapal lainnya untuk segera turun.
Saya, Yayan, Indra, Arie, dan Hari naik melalui jalur kiri yang cukup landai. Di beberapa spot banyak terdapat batu yang sangat menarik untuk berfoto-foto namun seorang panitia yang datang menemani kami mengingatkan agar kami cepat-cepat. Sepertinya dia menjadi tim penyapu karena kami memang rombongan terakhir yang mendaki. Karena itu kami pun bergegas turun. Di jalur turun saya melewati Dounia seorang traveller asal Eropa dan seorang turis India yang sedang diwawancara oleh tiga orang wartawan.
Sesampainya di tepi pantai, kami menunggu teman-teman yang sedang makan di rumah petugas BKSDA. Mereka memang tidak kebagian nasi kotak saat di kapal karena jatahnya dimakan oleh awak kapal yang ternyata tidak dihitung saat pembagian makan oleh panitia. Iseng sambil menunggu teman-teman makan, saya, Dian dan Mbak Rosanna berfoto-foto menggunakan bendera merah putih di tepi pantai.
Seorang panitia menawarkan kami naik kapal besar, namun ternyata saat kami semua menuju tepi pantai, kapal sudah melaju pergi. Seorang panitia perempuan meminta maaf karena dua kapal besar Teluk Lampung dan kapal polisi sudah penuh. Ini berarti kami harus kembali menaiki kapal kayu. Baiklah. Ujian sabar akan segera kami mulai.
Puncak Gunung Anak Krakatau tampak berselimut kabut. Saya menatap penuh kerinduan pada setiap lekuk lerengnya. Ah ya, ini akan menjadi pengalaman mendaki gunung tersingkat dalam hidup saya. Hanya 1 jam turun naik. Padahal semula begitu banyak yang saya rencanakan untuk merekam berbagai hal yang saya lalui di atas sana. Bahkan saya rela membawa tripod untuk membuat foto dan video. Rencana tinggal rencana, pada kenyataannya tak sedetik pun tripod saya keluarkan selama perjalanan menuju Anak Krakatau.
Kapal kayu melaju meninggalkan tanah yang dulu pernah recah terbelah. Mengarungi perairan Selat Sunda yang ombaknya relatif tenang. Namun sepertinya kenyamanan perut mulai terusik. Rasanya seperti diaduk-aduk. Rasa mual mulai mendorong isi perut naik ke tenggorokan. Namun tak ada yang dapat dikeluarkan karena perut kosong.
Semula saya dan Dian berencana merekam sunset namun karena malas bergerak dan takut oleng dengan rasa mual, kami hanya berbaring saja. Dan lagi cuaca di luar tidak terlalu bagus untuk memotret karena matahari tertutup awan.
Entah pukul berapa, ombak mulai meninggi dan hujan mengguyur dengan derasnya. Semua orang terbangun dan sibuk memindahkan barang-barang berharganya. Saya sedikit takut akan terjadi hal yang lebih parah dari ini, namun Alhamdulillah keadaan kembali tenang setelah ombak mulai mereda. Saya pernah mengalami ombak yang lebih mencekam dari perjalanan ini, jadi tidak terlalu khawatir. Hanya saja otak mulai mencari-cari benda yang akan dijadikan penyelamat seandainya ada hal yang tidak diinginkan terjadi. Ban atau tangga? itulah yang ada di otak saya saat itu. Pada kenyataannya saya lebih mengkhawatirkan lamanya perjalanan. Takut seandainya badan saya tidak kuat menahan mual dan mendadak muntah atau pingsan. Alhamdulillah hal buruk itu lagi-lagi tidak terjadi.
Jam demi jam terlewati. Pelayaran di malam hari tentu lebih beresiko dibandingkan siang hari. Dan ini terbukti. Perjalanan di malam hari saat pulang ditempuh dengan waktu yang lebih panjang dibandingkan saat berangkat, yakni selama 6 jam.
Di atas segala hal yang telah terlewati, saya tetap bersyukur tidak mengalami peristiwa yang lebih buruk dari itu. Karena banyak hikmah yang bisa dipetik dari perjalanan ini. Perjalanan yang mengajarkan kami arti kebersamaan. Perjalanan yang mengajarkan kami arti kewaspadaan. Perjalanan yang mengajarkan kami arti kesabaran. Dan perjalanan yang membuat kami tahu arti dari sebentuk persahabatan.
Terima kasih Lampung atas semua hal yang telah kami lewati bersama. Satu hal terakhir yang ingin saya katakan adalah:
"Pesona Lampung pertama yang kami rasakan adalah tentang keramahtamahan penduduknya yang terwakili oleh blogger-blogger Lampung seperti Mas Yoppie Pangkey, Indra, Mbak Naqiyyah Syam, dan Fajrin Herris. Keramahan Gubernur dan istrinya, senyum dan sapanya, serta kesediaannya mau berfoto dengan kami."
![]() |
Masih mengenakan life jacket |
Perahu kami merapat menuju
kapal kayu. Saya yang sedari awal mengenakan life jacket kemudian bertanya kepada
awak kapal kayu apakah ada pelampung atau tidak. Karena dijawab tidak, maka saya
pun tetap membawa life jacket yang saya pakai. Namun si tekong perahu
berteriak agar life jacket-nya tidak usah dibawa karena mereka beda. Duh kalau ada panitia, saya mau bilang pinjam saja dulu. Saya pun meletakkan life jacket ke perahu dan meminta pelampung yang juga dibawa Haryadi Yansyah (Yayan) untuk dikembalikan. Keputusan ini membuat saya dan Yayan menyesal karena pada perjalanan bolak-balik selama
11 jam saya diterpa kekhawatiran yang berlebihan takut tiba-tiba saja alam tidak
bersahabat dengan kami.
Perahu merapat ke dinding kapal kayu. Sebuah pintu kapal dengan palang yang rendah tak ayal membuat saya dan beberapa teman yang kurang hati-hati terbentur palang. Bagai ucapan selamat datang dari kapal kayu yang kurang mengenakkan.
Perahu merapat ke dinding kapal kayu. Sebuah pintu kapal dengan palang yang rendah tak ayal membuat saya dan beberapa teman yang kurang hati-hati terbentur palang. Bagai ucapan selamat datang dari kapal kayu yang kurang mengenakkan.
Deru mesin kapal kayu yang terletak di lambung kapal cukup memekakkan telinga. Namun beberapa saat kemudian telinga kami sudah mulai terbiasa. Beberapa teman langsung duduk dan berbaring di selembar tikar yang tersedia tak juh dari ruang kemudi. Saya, Indra dan Dian memilih duduk di bagian atas kapal dimana suara bising dan guncangan ombak tidak terlalu terasa. Kami bertiga duduk di bagian atap kapal bersama beberapa orang wartawan dan rombongan Adis Takdos.
Setengah jam pertama, kami masih menikmati indahnya Teluk Lampung yang misty dengan pulau-pulau dan gerumul daratan di batas pandangan ke belakang. Satu jam selanjutnya masing-masing telah larut dalam mimpinya. Dian dan Indra yang masih rebah-rebahan langsung tertidur pulas. Sementara saya hanya duduk bersila sambil melihat-lihat pemandangan. Satu jam terasa cukup bosan. Saya pun ikut berbaring dengan berbantalkan ban yang tergeletak tak jauh dari tempat kami duduk. Namun menunggu kantuk datang sama membosankannya dengan duduk bengong tidak ada yang dilakukan.
Jam 9.50 sebuah kapal karet datang merapat. Kapal pun berhenti sejenak. Seseorang dari kapal karet berteriak bertanya tentang berapa orang penumpang kapal. Seorang ABK menjawab dengan ragu. Kelak jawaban ini yang membuat beberapa teman tidak kebagian makan siang.
Satu jam berlalu, kapal polisi bernama Albatros 3001 yang terakhir berangkat sudah menyusul kami. Tinggallah kami dengan laju kapal yang tidak seberapa. Sejam kemudian saya membangunkan Dian dan Indra untuk makan. Sambil makan saya dan Dian menduga-duga tentang berapa lama lagi perjalanan. Kata Indra yang pernah beberapa kali berkunjung ke Krakatau jika kita sudah dekat dengan Krakatau, maka pemandangan di sekeliling tidak akan terlihat. Apa? Mendadak lemas. Baiklah, saya pun membereskan nasi kotak yang isinya masih utuh. Hanya dicolek satu dua sendok saja. Sungguh makan yang sangat tidak berselera.
Seorang lelaki berusia 40 tahunan duduk di samping kami. Dia bilang cukup lelah mengendalikan kemudi kapal. Saya dan Dian langsung menyadari bahwa ia adalah nakhoda kapal. Kami pun terlibat obrolan yang cukup lama. Saya menanyakan tentang kapal ini biasanya digunakan untuk apa. Dari keterangan yang sang nakhoda kapal ceritakan, kapalnya biasa digunakan untuk mengangkut hasil bumi dari Pulau Sebesi ke Pelabuhan Canti di Kalianda. Lelah dengan obrolan, kami pun memilih diam. 4 jam perjalanan laut sungguh terasa mulai sedikit membosankan. Karena hanya laut dan laut yang ada dalam penglihatan. Untuk menghilangkan rasa bosan saya dan Dian iseng foto-foto wajah dengan memakai kacamata. Dan ini hasilnya :D
Dian di mata saya :D |
![]() |
Indra di mata Dian |
Waktu berlalu secara perlahan, dari kejauhan mulai tampak pucuk gunung menyembul di batas cakrawala. Saya dan Dian menduga bahwa itu adalah puncak Gunung Anak Krakatau. Namun Indra segera membantah. Ia bilang itu adalah puncak gunung di Pulau Sebesi. Dan masih satu jam perjalanan lagi menuju Gunung Anak Krakatau.
Menuju Anak Krakatau
![]() |
Gunung Anak Krakatau |
Tepat jam 14.05 kapal kayu berhenti. Sebuah kapal kecil mirip sekoci yang akan membawa kami ke tepi pantai mendekat. Satu persatu kami pun dipindahkan dan menginjakkan kaki di Pulau yang penuh dengan catatan dan torehan sejarah ini.
Saya menghela nafas panjang sambil menapaki pasir hitam yang terjilat-jilat lidah ombak. Bahagia rasanya menginjakkan kaki di titik nol untuk memulai pendakian menuju gunung yang selama bertahun-tahun dimimpikan.
Beberapa kelompok orang terlihat sedang beristirahat di bangku-bangku di bawah pohon ketapang dan pohon cemara. Di sisi kanan pantai terdapat sebuah rumah sederhana yang dijadikan tempat tinggal para petugas BKSDA (Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam) Lampung selama bertugas di pulau ini. Tak jauh dari halaman rumah terdapat toilet berdinding terpal yang kami gunakan untuk menumpang pipis dan mengambil air wudhu dari sumur. Uniknya air sumur di sini hangat. Sepertinya karena aktifitas pemanasan di dalam perut bumi pulau Anak Krakatau yang masih aktif bekerja. Di rumah petugas BKSDA itulah kami menumpang sholat dzuhur sekaligus jama ashar.
![]() |
My first step |
Usai sholat, kami segera menuju jalur pendakian. Seorang panitia memanggil saya dan memperkenalkan dengan seorang petugas BKSDA yang akan menemani kami menuju puncak satu. Menurut penuturan yang disampaikan Mas Yoppie dan Indra, kami dilarang untuk sampai di puncak utama karena masih sangat berbahaya. Kami hanya diperbolehkan mencapai puncak satu atau lebih tepatnya seperti lereng gunung.
Saya berada di rombongan paling belakang. Namun beberapa menit kemudian dapat menyusul Mas Yoppie, Mbak Rien, Mbak Ros, dan Rian. Karena harus segera turun, saya pun terus melanjutkan perjalanan tanpa beristirahat karena dari pengeras suara terdengar panitia sudah memanggil-manggil peserta Tour Krakatau yang rombongan kapal lainnya untuk segera turun.
Saya, Yayan, Indra, Arie, dan Hari naik melalui jalur kiri yang cukup landai. Di beberapa spot banyak terdapat batu yang sangat menarik untuk berfoto-foto namun seorang panitia yang datang menemani kami mengingatkan agar kami cepat-cepat. Sepertinya dia menjadi tim penyapu karena kami memang rombongan terakhir yang mendaki. Karena itu kami pun bergegas turun. Di jalur turun saya melewati Dounia seorang traveller asal Eropa dan seorang turis India yang sedang diwawancara oleh tiga orang wartawan.
![]() |
Wawancara turis |
Sesampainya di tepi pantai, kami menunggu teman-teman yang sedang makan di rumah petugas BKSDA. Mereka memang tidak kebagian nasi kotak saat di kapal karena jatahnya dimakan oleh awak kapal yang ternyata tidak dihitung saat pembagian makan oleh panitia. Iseng sambil menunggu teman-teman makan, saya, Dian dan Mbak Rosanna berfoto-foto menggunakan bendera merah putih di tepi pantai.
Seorang panitia menawarkan kami naik kapal besar, namun ternyata saat kami semua menuju tepi pantai, kapal sudah melaju pergi. Seorang panitia perempuan meminta maaf karena dua kapal besar Teluk Lampung dan kapal polisi sudah penuh. Ini berarti kami harus kembali menaiki kapal kayu. Baiklah. Ujian sabar akan segera kami mulai.
![]() |
Puncak di balik lereng |
![]() |
View dari Lereng |
Puncak Gunung Anak Krakatau tampak berselimut kabut. Saya menatap penuh kerinduan pada setiap lekuk lerengnya. Ah ya, ini akan menjadi pengalaman mendaki gunung tersingkat dalam hidup saya. Hanya 1 jam turun naik. Padahal semula begitu banyak yang saya rencanakan untuk merekam berbagai hal yang saya lalui di atas sana. Bahkan saya rela membawa tripod untuk membuat foto dan video. Rencana tinggal rencana, pada kenyataannya tak sedetik pun tripod saya keluarkan selama perjalanan menuju Anak Krakatau.
![]() |
Ditinggaaaaal....huhu |
Kapal kayu melaju meninggalkan tanah yang dulu pernah recah terbelah. Mengarungi perairan Selat Sunda yang ombaknya relatif tenang. Namun sepertinya kenyamanan perut mulai terusik. Rasanya seperti diaduk-aduk. Rasa mual mulai mendorong isi perut naik ke tenggorokan. Namun tak ada yang dapat dikeluarkan karena perut kosong.
Semula saya dan Dian berencana merekam sunset namun karena malas bergerak dan takut oleng dengan rasa mual, kami hanya berbaring saja. Dan lagi cuaca di luar tidak terlalu bagus untuk memotret karena matahari tertutup awan.
Entah pukul berapa, ombak mulai meninggi dan hujan mengguyur dengan derasnya. Semua orang terbangun dan sibuk memindahkan barang-barang berharganya. Saya sedikit takut akan terjadi hal yang lebih parah dari ini, namun Alhamdulillah keadaan kembali tenang setelah ombak mulai mereda. Saya pernah mengalami ombak yang lebih mencekam dari perjalanan ini, jadi tidak terlalu khawatir. Hanya saja otak mulai mencari-cari benda yang akan dijadikan penyelamat seandainya ada hal yang tidak diinginkan terjadi. Ban atau tangga? itulah yang ada di otak saya saat itu. Pada kenyataannya saya lebih mengkhawatirkan lamanya perjalanan. Takut seandainya badan saya tidak kuat menahan mual dan mendadak muntah atau pingsan. Alhamdulillah hal buruk itu lagi-lagi tidak terjadi.
Jam demi jam terlewati. Pelayaran di malam hari tentu lebih beresiko dibandingkan siang hari. Dan ini terbukti. Perjalanan di malam hari saat pulang ditempuh dengan waktu yang lebih panjang dibandingkan saat berangkat, yakni selama 6 jam.
Di atas segala hal yang telah terlewati, saya tetap bersyukur tidak mengalami peristiwa yang lebih buruk dari itu. Karena banyak hikmah yang bisa dipetik dari perjalanan ini. Perjalanan yang mengajarkan kami arti kebersamaan. Perjalanan yang mengajarkan kami arti kewaspadaan. Perjalanan yang mengajarkan kami arti kesabaran. Dan perjalanan yang membuat kami tahu arti dari sebentuk persahabatan.
Terima kasih Lampung atas semua hal yang telah kami lewati bersama. Satu hal terakhir yang ingin saya katakan adalah:
"Pesona Lampung pertama yang kami rasakan adalah tentang keramahtamahan penduduknya yang terwakili oleh blogger-blogger Lampung seperti Mas Yoppie Pangkey, Indra, Mbak Naqiyyah Syam, dan Fajrin Herris. Keramahan Gubernur dan istrinya, senyum dan sapanya, serta kesediaannya mau berfoto dengan kami."
Alhamdulillah perjalanan ke Gunung Anak Krakatau terselesaikan. Tetap sehat walafiat meski disertai kecemasan dan berbagai kekurangan selama perjalanan ya mbak :)
BalasHapusAlhamdulillah, makasih atas semuanya ya Mbak Rien. Moga di lain waktu kita bisa bertemu kembali.
HapusAku mupeeeng mba, pengen ke Lampung, tahunya dulu Bandar Lampung doang hiks..semoga bisa kesampaian kesana terus ke Palembang, aamiin..
BalasHapusAmiiin Mbak, saya juga pengen ke Lampung lagi malah. Kemaren gak puas.
HapusSeru ya perjalanan ke Lampungnya, membuat lebih akrab tentunya ya. Ituuu fotonya sukak yg ada mba dee di kacamata mba lina, hahahahaha kreatif. Sampai jumpa di liburan bersama ya kita mba!
BalasHapusAmiiin semoga kita bisa liburan bersama :D
HapusYeay... seru! Asyik banget deh Mbak Lina ini, jalan-jalan teroooos. :D
BalasHapusAlhamdulillah Teh Nia.
HapusWah gmn ya rasanya solat di mesjid terapung. Apa mgkn bs goyang2 klo kena gelombang air
BalasHapusKayaknya iya Mbak kalau ombak besar bakal goyang-goyang haha.
HapusMba Lin, jadi kapan ke Bandung, kita jalan2 bareng ooy..
BalasHapusTunggu aja tanggal mainnya Teh :D
Hapustak semua perjalanan itu menyenangkan ya...pasti ada yang bikin hati gundah..namun karena semua dilalui bersama jadinya punya cerita yang layak untuk dikenang kembali suatu saat :)
BalasHapusTetap kisah perjalanannya seru Kak Sar.
HapusWalaupun ini "cuma" anak gunung, aku seneng banget bisa naik gunung bareng master pendakian macam mbak Lina :) Gak nyangka banget bisa sampe atas (padahal "segitu doang" ya mbak haha). Mau deh balik lagi ke sana, tapi mau kemahan di pinggir pantainya. :D
BalasHapusHaha apalah apalah aku ini. Yayan suka merendah gitu deh. Iya pengen kemah di tepi lautnya tapi apa boleh ya?
HapusLampung emang tempat wisata yang oke mba. Aku pernah ke pulau Tegal (lupa namanya) di Lampung. Pas nyebrang laut pakai perahu nggak pakai pelampung eeh ada ikan hiu. Takut bangeet. Tapi blm pernah ke gunung karakatau mbaa
BalasHapusWuaah ketemu hiu ya? Waduh serem tapi seru Mbak.
Hapusnggak pernah ke luar jawa, lampung bisa ini jadi destinasi :D
BalasHapusapalagi ke anak kraataunya pengen deh :3
Saatnya keluar Jawa Mbak. Tempat wisata di Lampung termasuk lengkap loh dari laut hingga gunung.
Hapussepertinya perjalanan seru yang penuh perjuangan ya..
BalasHapussaya belum sempat nih mengunjungi Krakatau. Cuma bisa sampai di pulau sebesi kala itu.
Walaah saya malah belum sampai Pulau Sebesi Mbak.
HapusSenang kita kembali ke darat dengan selamat. Ahhh selalu ada hikmah dibalik segalanya
BalasHapusBetul Barbie. Semuanya ada pelajaran dan hikmah yang bisa diambil.
HapusCeritanya lengkap banget mba, bikin serasa ngikut juga kesana. Seru! Aku belum pernah samasekali ke Lampung :).
BalasHapusAlhamdulillah, terima kasih Mbak.
HapusPengalaman yang super sekali Mba..!
BalasHapusdegdegan saya bayangin naik kapal kayu selama 5 jam perjalanan. wuuihhh..!
Duh serasa gak ada ujungnya Mbak. Soalnya yang dilihat laut dan laut. Beda sama daratan. Biar perjalanan panjang tapi masih bisa lihat pemandangan kanan kiri.
HapusSo exiciting bamget yaa mbaak Lina bisa mbolang bareng temen2 lain menikmati keindahaan gunung anak Krakatau.
BalasHapusBetul Mbak excited banget.
Hapusgunung anak krakatau memang sangat phenomenal ya mbak lina.
BalasHapusBetul Kak Liza, luar biasa deh. Ngebayangin letusannya yang dahsyat.
HapusWah perjalanannya panjang juga ya. Tapi yang pasti semua yang melelahkan terbayarkan setelah sampai. Uuuwww jadi envy kesana tapi bayangin perjalanannya udah lelah duluan, hihi.
BalasHapusHaha iya Mbak, capek di jalan. Di gunungnya cuma sejaman aja.
HapusSempet ikut deg2an soal cerita ombak dan naik perahunya mbak, alhamdulillah terbayarkan dgn melihat indahnya alam di sana ya :D
BalasHapusIya Mbak, yang aku khawatirkan cuaca makin memburuk tapi Alhamdulillah ternyata masih dilindungi.
HapusDulu sekali aku pernah ke Lampung mba cuma sebentar dan enggak sempat wisata, hehehe.
BalasHapusSemoga lain waktu ada kesempatan ke Lampung ya
Lampung kalau dikunjungi ternyata tempat wisatanya sangat banyak loh Mbak.
Hapus