Gunung Guntur, Pendakian Penuh Waswas dan Curiga

Bagi orang-orang perantauan seperti saya, momen Idul Adha, 5 October 2014 lalu adalah momen yang tepat untuk pulang kampung. Selain tiket pesawat terbang tidak semahal ketika Idul Fitri, juga lalu lintas di jalan raya tidaklah terlalu macet. Terlebih kampung saya berada di Garut, Jawa Barat, yang lalu lintasnya berada di jalur selatan. Jalur yang setiap kali musim mudik lebaran kerap macet parah.


Sambil Menyelam Minum Air

Sambil menyelam minum air. Sambil pulang kampung, saya pun kerap mendaki gunung :D. Biasanya, saya mendaki Gunung Cikuray atau Papandayan. Namun liburan kali ini saya lebih memilih mendaki Gunung Guntur yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kampung halaman. Hanya dibutuhkan waktu sekitar 30 menit menggunakan kendaraan bermotor menuju SPBU Tanjung di Kecamatan Tarogong Kaler. SPBU ini yang menjadi entry point dan bahkan assembly point bagi para pendaki Gunung Guntur.

Tepat di Hari Raya Idul Adha, sekitar pukul 11.30 siang, selepas mengurusi daging domba garut yang dijadikan qurban, (Tak lupa kami membawa serta potongan daging domba segar untuk dimasak di atas gunung) saya bertiga dengan suami dan adik laki-laki saya berangkat menuju SPBU Tanjung dengan menyewa mobil angkutan  pedesaan (Angped). Sambil menunggu teman yang sudah biasa mendaki Gunung Guntur sebagai penunjuk jalur, kami beristirahat sejenak di mushola SPBU.

Jalan masuk menuju Gunung Guntur terletak di sebelah kiri SPBU. Tidak ada tanda dan tulisan apa pun di mulut jalan. Jadi jika ragu sebaiknya bertanya kepada penduduk sekitar. Pada hari biasa, jalan menuju Gunung Guntur ini ramai oleh lalu-lalang truk yang mengangkut pasir dan batu. Namun karena saat itu merupakah hari libur, maka tak satu pun truk yang lewat. Dengan terpaksa, kami berjalan kaki menyusuri jalanan yang berdebu. Kemarau panjang telah merubah jalanan aspal yang kami lalui seperti arena pacuan kuda.

Baru beberapa menit berjalan, rasanya tubuh langsung shock karena badan belum berkompromi dengan beban di punggung. Begitu pun dengan nafas yang belum menemukan ritmenya. Langsung ngos-ngosan. 15 menit kemudian, kami menyerah. Segera menuju sebuah warung yang menjual es campur. Hawa panas di tengah terik kemarau ini cukup membuat mental dan fisik kami down. Daaan, menemukan es campur di tengah terik seperti itu bagai menemukan oase di gurun sahara. Langsung pengen nyebur dan berendam seperti kuda nil.

Saat duduk sambil menikmati es campur, Si Bapak penjual es campur yang ternyata adalah RT setempat, segera bercerita panjang lebar tanpa diminta. Ia berpesan agar kami berhati-hati karena kerap terjadi kehilangan benda-benda berharga di atas gunung sana. Incarannya selalu sama. Kamera, uang, hand phone atau tablet. Dan ini sungguh membuat para pendaki dan warga di sana menjadi resah karena pelakunya hingga kini belum tertangkap.


Pesan dari Base Camp Guntur


Setelah badan terasa segar, kami segera beranjak pergi. Namun baru beberapa meter berjalan, kami melihat sebuah rumah bertuliskan “Base Camp Guntur”. Sebuah rumah yang ternyata dijadikan pos pendaftaran ke Gunung Guntur. Kami pun mampir untuk melakukan registrasi. Rumah tersebut adalah rumah Bu Tati, RW setempat. Namun yang menerima kami saat itu adalah suaminya. Sebut saja Pak RW walaupun bukan beliau yang menjadi RW :D.

Sama halnya dengan Pak RT yang menjual es campur tadi, Pak RW tidak lupa menasehati kami agar berhati-hati. Dan jika ada sesuatu yang mencurigakan, segera menghubunginya. Ia pun menyarankan jika seseorang kedapatan mengambil barang-barang milik kami, maka segeralah difoto. Waduh boro-boro untuk foto Pak, rasa-rasanya kami tidak akan seberani itu kecuali dalam jarak yang aman. Sementara yang kami dengar dari Pak RW sendiri, pelakunya kerap memasuki tenda pendaki saat sedang terlelap tidur sekitar jam 3 hingga jam 5 subuh.

Saat sedang melakukan registrasi, sebuah truk mampir di base camp. Dan sopir truk bersedia memberikan tumpangan hingga kawasan tambang pasir. Syukur Alhamdulillah, dapat tumpangan juga. Tak terbayang di teriknya siang seperti ini kami masih harus berjalan berkilo-kilometer lagi menuju lokasi tambang pasir yang gersang. Saya khawatir kalau energi terkuras sebelum memasuki kawasan gunung sesungguhnya, fisik dan psikologis kami akan down duluan seperti tadi.

Para Penambang Pasir

Truk melaju perlahan di jalanan yang tidak lagi rata. Adik dan suami saya berdiri di bak truk belakang. Begitu juga dengan teman baru kami yang bernama Roni. Sementara saya duduk manis di samping Pak Sopir yang masih muda, 21 tahun. Namanya mudah diingat. Nama khas orang Sunda kebanyakan. Asep.

Darinya cerita para penambang pasir pun bergulir.Truk yang dibawa Asep adalah truk kepunyaan kakaknya dari Bandung. Ia kerap bolak-balik Garut – Bandung demi mengais rejeki dengan membeli pasir sebesar dua ratus ribu rupiah dari para penggali.

Asep setiap harinya bolak-balik ke lokasi tambang pasir hampir 3 kali sehari, pagi siang sore. Seperti minum obat :D. Tiap trip ia akan membayar 30 ribu rupiah sebagai retribusi bagi warga dan desa sekitar. Selain itu ia juga menyetor uang sebesar 5000 rupiah ke Organda, sebagai jaminan keamanan kalau terjadi apa-apa dengan truknya. Setelah itu ia membawa pasirnya ke daerah Garut atau Bandung. Untuk wilayah Garut ia menjualnya 500 ribu rupiah per truk. Sedangkan untuk wilayah Bandung 800 ribu rupiah.

Jika penghasilan bersih sekitar 100 hingga 400 ribu rupiah saja per trip, usaha tambang pasir ini amatlah menjanjikan. Terlebih jika truk yang dimiliki adalah milik pribadi sopir truknya, maka keuntungan yang diterima akan berlipat.

Tak dipungkiri, dengan maraknya pertambangan pasir ini, ekosistem di kawasan Gunung Guntur terganggu. Keseimbangan alam mulai tak berimbang. Namun di sisi lain kekayaan alam, bumi, laut, dan yang terkandung di dalamnya diciptakan untuk memberi manfaat sebaik-baiknya bagi kehidupan manusia. Dengan itu pemanfaatan sumber-sumber kekayaan alam seperti di atas haruslah bijak dan berwawasan lingkungan. Tanpa mengesampingkan masa depan bumi di masa yang akan datang.

Di ujung jalan paling atas di lokasi pertambangan pasir, truk diparkir. Dengan petunjuk dari Asep, kami melanjutkan perjalanan dengan mengarah ke sisi kanan atas menuju Pos 1, Curug Citiis.Tidak ada papan petunjuk yang jelas. Jalan tempat truk-truk menaikkan galian pasir terlihat saling silang di sana-sini. Tambang pasir ini tampak luas sekali.

Kami berpapasan dengan tiga orang remaja laki-laki yang baru turun dari Curug Citiis. Saya menanyakan beberapa hal kepada mereka penuh selidik. Apakah mereka juga kehilangan sesuatu. Benar saja. Salah seorang dari mereka segera bercerita bahwa baru saja kehilangan dompet beserta uang dan hand phone. Saya tercekat kaget. Duh, apakah ini berarti gunung guntur mulai tidak aman bagi pendaki?

Saya menanyakan apakah mereka mencurigai seseorang atau sesuatu sehingga barang-barang tersebut bisa hilang. Sepertinya iya. Mereka mencurigai beberapa orang laki-laki yang sedang nongkrong di Curug Citiis. Kecurigaan ini timbul karena saat itu tidak ada siapa pun kecuali mereka. Got it. Saya mencatatnya baik-baik dalam hati.

Dari Pos ke Pos

Suara gemericik air mulai terdengar. Curug Citiis mulai tampak dari sela-sela pepohonan yang rindang. Air sungai mengalir jernih melalui ceruk-ceruk yang dalam. Tiga orang laki-laki berbaring di bale-bale bambu sebuah gubuk. Entah sedang apa mereka di sana. Saya amati mereka bukan pendaki yang akan naik maupun turun.

Kami terus melanjutkan perjalanan tanpa berhenti di Curug. Begitu kami mengorek keterangan dari Roni, dia juga punya pengalaman pahit di Curug Citiis. Beberapa tahun lalu saat ia sedang tidur-tiduran di bebatuan, tas kecil yang berisi uang dan hand phone-nya raib.

Usut punya usut, temannya yang sedang tidur-tiduran juga sempat menyaksikan tas Roni diambil seseorang. Seseorang itu adalah salah satu laki-laki yang kami temui tadi. Tidak ada bukti untuk menyeretnya ke pihak polisi. Yang jelas setelah cerita itu selesai kami jadi waswas. Apakah malam nanti kami pun akan menjadi sasaran?

Setengah jam kemudian kami tiba di Pos dua. Beristirahat sejenak untuk melepas lelah. Di sini masih terdapat sumber air karena pos 2 berada tepat di tepi sungai Citiis.

Sore mulai beranjak, dan jalur makin menanjak. Bebatuan terjal yang kami lalui tampak seperti tangga-tangga alami. 1 jam kemudian kami tiba di pos 3, pos yang dinamai Roni Pos Pangreureuhan. Rupanya ia sendiri yang memberi tanda jejak dan membuat petunjuk-petunjuk yang sangat berguna bagi para pendaki.
Di pos 3 juga masih terdapat air. Kira-kira 5 menit berjalan ke arah sebelah kanan jalur dengan petunjuk yang jelas menuju sumber air. Masih di aliran Sungai Citiis yang terletak di sebelah kanan jalur.

Maghrib mulai menjelang. Suara adzan dari perkampungan di bawah sana samar terdengar. Kami beristirahat dan makan malam. Sholat maghrib akan kami jama di waktu isya nanti saat kami tiba di puncak.
Menu lepet dan keripik tempe yang telah disiapkan ibu saya dari rumah ternyata sangat bermanfaat untuk dijadikan menu makan malam saat itu. Semula, saya tidak berniat untuk membawanya jika ibu tidak memaksa.

Hari mulai gelap. Kabut makin pekat menyelimuti jalur dan Puncak Guntur. Kami mulai mengeluarkan senter dan head lamp masing-masing. Satu per satu menapaki jalur yang mulai licin oleh kerikil. Bukan pasir seperti di Gunung Semeru atau Rinjani. Tapi kerikil-kerikil sebesar bola bekel. Kondisi ini membuat kami semakin sulit melangkah karena hampir setiap pijakan pada kerikil menyebabkan kaki tergelincir beberapa centi ke bawah. Sementara vegetasi hanya berupa semak-semak. Sangat jarang sekali pepohonan. Jika pun ada hanya satu-satu batang pinus yang gosong tersambar petir.

Agar tidak sering tergelincir kami berjalar di tepi jalur yang ditumbuhi semak sehingga masih bisa berpegangan pada batang-batangnya yang ternyata lumayan kuat menahan beban badan. Rasanya gunung ini luar biasa. Luar biasa melelahkan bagi yang tidak biasa. Jalurnya terbilang berat, terlebih bagi para pemula. Menanjak terus dan tidak menemukan area datar sama sekali. Saat yang tepat menguji kesabaran, kekuatan, dan kegigihan. Beban yang berat di punggung masing-masing sungguh merupakan ujian tersendiri bagi kekuatan fisik dan mental. Mendaki gunung bukanlah hal yang mudah dalam kondisi seperti ini. Syukurnya kami tidak mendaki siang hari. Bisa-bisa terkena dehidrasi karena vegetasi dan paparan matahari sangat terbuka.

Gelap semakin pekat. Dan kabut tak juga beranjak pergi. Kami berempat berada pada jarak yang saling berjauhan. Namun karena jaur terbuka, satu sama lain masih bisa saling memantau dengan patokan sinar senter masing-masing.
“Chil…Chil…Ayah Bunda mah jauh-jauh pulang kampung malah nyari susah,” celetuk suami saya sambil terkekeh tertawa. Ah iya, untung saja anak kami Chila yang masih berusia 5 tahun, tidak kami ajak. Padahal ia sudah merengek-rengek meminta untuk ikut mendaki.


Menggapai Puncak 1

Roni, sudah jauh di atas sana. Cahaya senter yang ia nyalakan sebagai sinyal, tampak seperti bintang, berkelap-kelip. Membias, menembus pekatnya kabut. Sinyal cahaya yang dibalas sama oleh Adik saya yang berada di bawahnya. Sedangkan saya dan suami tertinggal cukup jauh di belakang. Saya mengalami keseleo di sendi lutut kiri sehingga berjalan terpincang-pincang. Saya menduga disebabkan kurangnya pemanasan sebelum mendaki.

Pukul 19.30 satu per satu kami tiba di gigiran puncak 1. Jalur mulai datar dan melandai. Kami segera menuju ke lembah di area puncak. Samar terdengar celoteh khas ibukota. Ber-Elu Gua. Sesekali diselingi pertanyaan “Mana Bapak, Mana Bapak?” lalu disambut jawaban lainnya “Di Jonggol,” candaan khas sinetron Emak Ingin Naik Haji.

“Assalamualaikum”, Roni mengucap salam. Dijawab serempak oleh mereka. Para pendaki yang sempat terlihat di punggungan gunung di sebelah kiri jalur yang kami lalui sore tadi. Jalur yang ampun-ampun. Sangat terbuka dan tidak ada pohon termasuk rumput dan semak untuk sekedar berpegangan. Dan beratnya jalur yang mereka lalui ini tidak ada sumber air. Wajar saja jika mereka kehabisan air.

Para pendaki yang baru kami temui ini berasal dari Bekasi. Ketika saya tanya kenapa tidak melalui jalur sepanjang sungai Citiis, mereka menjawab bahwa laki-laki yang ada di Curug Citiis menunjukkan jalur ke sebelah kiri. Saya hanya geleng-geleng kepala. Apa maksudnya coba. Mungkinkah tindakan itu, menunjukkan arah yang salah, adalah sengaja?

Kami mendirikan tenda tidak jauh dari tenda pendaki dari Bekasi. Setelah tenda berdiri rapi kami mempersiapkan untuk memasak. Daging domba yang kami bawa dari rumah segera disiapkan untuk menjadi sate. Lumayan dapat 20 tusuk sate. Dengan menu sate domba, makan malam kali ini sungguh sangat nikmat.Alhamdulillah.

Setelah makan malam dan mengobrol apa saja, kami bersiap untuk tidur. Benda-benda berharga segera kami rapikan dan disimpan baik-baik. Dompet, kamera poket, dan hand phone saya selipkan di jaket yang saya kenakan. Lalu membungkus diri dalam sleeping bag. Saya merasa lumayan tenang. Dimana lagi menemukan tempat aman di dalam tenda kecuali dalam sleeping bag.

Mengingat beberapa cerita teman yang mengalami kejadian kemalingan di Gunung Guntur ini, kami berempat jadi waswas. Tidur tidak nyenyak. Terjaga pun tidak enak. Setiap ada suara-suara aneh segera saja terbangun penuh kecurigaan. Laa haula…saya pun berdoa lalu memejamkan mata. Sungguh malam yang terasa sangat panjang dan menegangkan. Rasanya saya ingin segera menyudahi malam ini. Namun di luar sana gelap masih menyelimuti.

Pagi telah menyingsing. Kabut masih setia menyelimuti area puncak. Awan menggumpal, bergulung-gulung di langit sebelah timur. Sinar matahari menerobos lembut. Saya yang menunggu detik-detik sunrise sedikit kecewa karena langit terhalang kabut. Namun kekecewaan itu terobati saat melempar pandang ke arah selatan.Gunung Cikuray mencuat begitu saja di antara genangan awan di langit. Tampak begitu anggun dan menggetarkan.

Hawa pagi tidak terlalu dingin. Entahlah. Saya tidak merasakan kedinginan yang sangat seperti di gunung-gunung lainnya. Mungkin tubuh saya sudah beradaptasi dengan suasana udara di Garut. Apalagi saya sudah beberapa hari berada di kampung halaman. Atau, karena memang efek dari global warming  atau mungkin juga karena karakteristik Gunung Guntur yang panas. Sehingga kadang terbakar sendiri saat kemarau seperti ini.

Setelah menyeruput teh manis hangat, berdua dengan adik, saya menaiki puncak 2. Setengah jam kemudian kami tiba di sana. Dari puncak 2 pemandangan tampak kontras. Tepat bersebelahan dengan Guntur tampak Gunung Hejo yang rimbun menghijau. Tajuk-tajuk pohonnya subur dan lebat. Sementara Guntur sendiri tampak gersang dan gundul. Arah menuju puncak 3 justru terlihat menghitam bekas kebakaran yang hampir setiap tahunnya terjadi.

Tak kurang dari setengah jam kami berada di Puncak 2 lalu memutuskan turun ke lokasi kemping. Saya tidak begitu berminat untuk menuju puncak 3 dan puncak 4 yang menjadi titik tertinggi Gunung Guntur yakni 2249 mdpl. Cukuplah menyaksikan keindahan hingga di puncak 2 saja. Setelah saya dan adik turun, gantian kini suami dan Roni yang naik ke puncak 2. Saat mereka berdua turun saya sudah selesai packing. Sehingga tak lama berselang, sekitar jam 10 pagi, kami turun. Kini jumlah kami menjadi 8 orang karena ditambah dengan 4 orang pendaki dari Bekasi yang ingin turun bersama.


Turun Gunung

Pemandangan saat turun sungguh membuat saya berdecak kagum. Pemandangan ke arah Kota Garut dan sekitarnya seperti lukisan yang berbingkai awan. Walaupun langit memutih tetap saja keindahannya tak terbantahkan. Tambang pasir tampak berundak-undak berwarna merah tanah. Hamparan savanna yang menguning di punggungan gunung mengingatkan saya kepada film lawas Little House on the Praire.
Sementara pada jalur turun, rekan-rekan sedang berjuang menuruni jalur kerikil yang licin.

“Pantesan kata temanku, kalau ke Guntur bawa wajan, biar bisa dipakai turun.” canda suami saya. Ia pun mencoba menuruni jalur dengan berbagai gaya. Mundur, menggelosor dan berjongkok. Ketika berjongkok, wuusss…..ia pun meluncur tak terhentikan. Adik saya tak mau kalah ia pun menuruni jalur dengan menggelosor. Meluruskan kedua kakinya dan sreeeet….ia pun berhasil menuruni jalur dengan laju.

Jam 11.30 kami tiba di Pos 3. Berisitirahat dan mempersiapkan makan siang dengan merebus mie instant.

Selepas sholat dzuhur yang dijama dengan ashar, kami melanjutkan perjalanan hingga tiba di Curug Citiis. Di sana masih terdapat tiga orang laki-laki yang kemarin kami temui. Tak berhenti di situ kami melanjutkan perjalanan dengan menyebrang sungai citiis dan mengikuti jalur pipa air warga yang menuju kampung. Tiba di Base Camp Guntur sudah sore. Setelah melapor kami pulang dengan menumpang truk pasir menuju daerah Tarogong Garut.

Note: Foto-foto pendakian yang sudah diupload tiba-tiba terhapus, Insya Allah nanti akan di-upload lagi lain waktu.

2 komentar :

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita