[Di Sekitar Rumahku] Kematian yang Merenggut

Setiap pulang kerja atau dari dan akan ke tempat lainnya, Aku seringkali melewati rumah Bu Susi yang letaknya hanya selang satu rumah saja dari rumahku. Ia adalah salah satu tetangga yang paling ramah. Selalu saja menyapa dan tersenyum ketika Aku melewatinya sehingga tak sungkan Aku pun mampir dan ngobrol sebentar dengannya.

Biasanya kalau sore tiba, ia duduk-duduk di teras dengan suaminya yang baru pulang kerja. Ngobrol berdua begitu mesranya, tersenyum, bercanda, lalu tertawa-tawa bahagia. Padahal anak-anaknya sudah 3 orang dan sudah besar-besar. Memangnya kalau sudah punya anak banyak nggak boleh mesra gitu? Ah, enggak juga sih hanya saja Aku sering melihat semakin lama suatu pernikahan jarang sekali mendapati suami istri yang masih mesra seperti mereka.

Berhari-hari kemudian Aku tak pernah mendapati mereka duduk-duduk di teras lagi. Anak-anaknya pun hanya tampak sesekali saja. Karena penasaran Aku pun bertanya kepada tetangga yang lainnya. Tanpa disangka mereka menjawab kalau Bu Susi sakit parah terkena kanker rahim. Aku tersentak kaget, ternyata telah lebih dari seminggu ia dirawat di rumah sakit sedangkan Aku tetangga dekatnya yang hanya terpisah jarak beberapa langkah saja tidak tahu sama sekali. Duh tetangga macam apa Aku ini? *Nonjok kepala sendiri.

Ah wajar saja, Aku kan pergi pagi pulang malam hari. Jadi tak pernah tahu akan perkembangan yang terjadi di sekitar rumahku. Batinku mulai membela diri. Tidak! Tetap saja ada pilu dan rasa bersalah yang menyudutkan posisiku. Ah Aku memang kebangetan.

Sore itu juga Aku hendak menjenguk Bu Susi ke Rumah Sakit, namun sayang suami ternyata pulang malam dan Aku punya bayi yang nggak bisa ditinggal atau dibawa-bawa saat maghrib-maghrib. Pamali kata orang Sunda. Dan memang Aku sangat riskan kalau mengajak anak keluar rumah saat maghrib tiba. Jadilah rencana menjenguk hari itu batal. Mungkin besok hari saja.

Subuh-subuh saat Aku terbangun dari tempat tidur terdengar suara berisik di luar. Begitu kuintip ternyata ramai orang di halaman rumah Bu Susi. Masya Allah, Aku mendadak lemas. Firasatku mengatakan bahwa telah terjadi sesuatu. Seketika Aku langsung membangunkan suami dan menceritakan kekhawatiranku. Setelah sholat subuh, Ia segera keluar dan bergabung dengan keramaian di luar.

Ketika Ia masuk kembali ke rumah ia menceritakan kalau Bu Susi sudah meninggal. Innalillahi wainnailaihi rojiuun. Tak terasa sudut-sudut mataku mulai menggenang siap menumpahkan derai-derai air mata. Aku pun perlahan mulai menangis. Penyesalan itu mulai merasuki relung hati. Rasa bersalah mulai hinggap dan tak pernah hilang hingga saat ini. Aku memang tetangga yang keterlaluan.

"Ya Allah terimalah ia di sisi-Mu, Aku bersaksi bahwa Bu Susi adalah orang yang baik. Maka terimalah segala kebaikannya."

Saat jenazah disemayamkan di rumah duka, Aku duduk di halaman beserta ibu-ibu dan anak-anak. Menunggu saat keberangkatan jenazah ke Taman Pemakaman Umum Sei Temiang yang letaknya tak jauh dari Perumahan tempat Kami tinggal. Yona (7 tahun) anak Almarhumah yang bungsu terlihat begitu sedih dan berurai air mata. Aku menatapnya iba. Mengusap rambutnya yang panjang dan mengucapkan kata-kata agar dia tabah. Tiba-tiba saja Yuni, anak Pak RT yang usianya tak jauh dengan Yona berbisik kepadaku.


"Tante, Tante...Yuni takut kalau Mama Yuni nanti seperti mamanya Yona." Kata Yuni polos. Aku tersentak kaget mendengar ucapan bocah tersebut.


"Yuni tidak boleh bicara seperti itu ya, yang ada Yuni doain aja agar mama Yuni sehat dan panjang umurnya." Jawabku. Yuni hanya terdiam sambil mengangguk.


Beberapa bulan kemudian, Aku dikagetkan dengan kabar bahwa Bu RT, Mamanya Yuni, pulang kampung karena akan berobat. Kabarnya dia terkena kangker payudara. Sebulan kemudian tetangga ramai mengabarkan bahwa Mama Yuni meninggal dunia di kampungnya di Rantau Prapat Sumatera Utara. Dan dikebumikan di sana.


Innalillahi wainnailaihi roojiun, Ya Allah Terimalah amal perbuatan mama Yuni sebaik-baik Engkau menghadirkannya ke muka bumi ini.


Hujan mengguyur pada malam meninggalnya Mama Yuni, seakan mengabarkan kedukaan pada seluruh warga perumahan tempat dimana Kami tinggal. Langit dan alam seperti bermuram kelam melepas nyawa seorang ibu yang telah meninggalkan seorang anak kecil yang teramat membutuhkan kehadirannya.

Aku jadi teringat dengan ucapan Yuni saat meninggalnya Bu Susi. Seakan anak kecil itu telah mencium firasat bahwa ibunya pun akan mengalami hal yang serupa. Yuni, dimanakah kamu? Aku hanya ingin memeluknya lalu membiarkan bajuku basah oleh air matanya. Aku pun menangis. Seperti beberapa bulan yang lalu. Menangisi kepedihan yang dirasakan oleh anak-anak kecil mereka. Betapa berat cobaan yang dialami dua gadis kecil yang biasa menyambangi rumahku untuk sekedar bermain dan mendengar cerita-ceritaku. Yona dan Yuni semoga kalian menjadi anak-anak yang tegar.

Tak berapa lama, setelah meninggalnya Bu RT, Aku dikagetkan kembali dengan kabar meninggalnya bayi tetangga di blok sebrang rumah. Entah apa penyebabnya karena begitu dilahirkan bayinya sudah tidak bernafas lagi. Padahal bayi tersebut adalah anak pertama yang begitu ditunggu dan diharap-harapkan.

Berhari-hari Aku terus memikirkan peristiwa ini. Sembilan bulan lamanya penantian sang ibu disertai berbagai perasaan tak menentu. Tidur tak nyaman karena harus menyesuaikan dengan perut yang mulai membuncit, melakukan berbagai hal dengan perlahan dan berhati-hati demi menjaga si jabang bayi selalu aman dan nyaman dalam kandungan, namun begitu ia dilahirkan dengan berdarah-darah dan sakit yang luar biasa, sang ibu harus rela melepas permata berharga itu kembali ke haribaan-Nya. Bayinya lahir namun untuk meninggal.

Selang beberapa bulan kemudian, Aku tersentak oleh kabar bahwa anak tetanggaku yang masih bayi, berumur 4 bulan, meninggal karena diare. Padahal sudah dirawat di Rumah Sakit terkemuka di Kota Batam selama 4 hari. Mendengar itu Aku segera berlari menuju rumah dan menciumi putriku yang usianya tak jauh dari bayi yang meninggal tersebut. Kali ini Aku benar-benar menangis pilu. Aku merasakan sekali betapa sakitnya kehilangan bayi mungil yang lucu dan menggemaskan. Aku memeluk dan menciumi putriku lagi. Berurai air mata, tak kuasa membayangkan jika aku akan kehilangan bayiku seperti tetanggaku yang kehilangan bayinya.


Kematian adalah sebuah keniscayaan. Dan kini, lagi-lagi kematian tersebut merenggut orang-orang di sekitarku. Ibu-ibu bahkan balita sekali pun. Yang tua dan yang muda sekali pun. Pepatah mengatakan bahwa kematian itu ibarat pohon atau buah kelapa. Biar itu bunganya, pelepahnya, daunnya, buah yang muda, atau buah yang tua tetap akan jatuh juga. Tak kan pernah diduga apa yang akan terlebih dahulu jatuh ke tanah. Serupa itu pula kematian. Yang tua, yang muda, entah siapa jua akan satu persatu direnggutnya.


Satu tahun itu kematian berturut-turut mendatangi orang-orang di perumahan tempat kami tinggal. Tidak saja di blok sekitar rumahku namun seperti bergilir diblok-blok lainnya. Apakah kematian seperti efek domino atau peristiwa acak yang tetap misteri? Wallahualam. Hanya saja jika kematian tidak bisa ditebak dan kepastian akan datangnya tidak pernah kita ketahui maka setiap saat itu pulalah kita semestinya telah siap untuk menghadapinya kapan pun dimana pun.

Duka masih tampak menggantung di udara. Dan orang-orang yang ditinggalkan oleh kematian di sekitar rumahku mulai bangkit untuk meneruskan hidupnya hingga kematian itu datang tanpa diundang.

12 komentar :

  1. Mba, tak terasa sudut mataku mengepung sebuah air mata. Kematian adalah peringatan bagi kita senantiasa mengingat Allah. Sedih sekali ya ceritanya. Anak-anak yang masih kecil, uuugh...

    Salam Kenal

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya sampai sekarang Saya kefikiran betapa hebatnya derita anak2 itu Mbak Astin. Ketabahan yang benar2 teruji.

      Hapus
  2. Makasih mbak sudah berbagi hal yang membuat saya merenung, introspeksi diri, agar selalu siap dijemput kematian. Agar lebih peka terhadap sekitar...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama Mbak Diah, terima kasih juga sudah berkunjung ke sini.

      Hapus
  3. Saya sekarang sedang merantau jauh dari rumah, dan setelah baca ini saya jadi kepikiran orang tua di rumah. Entah cepat atau lambat, saya sedang menyaipkan diri untuk sebuah telepon dengan kabar duka yang tiba-tiba. Terima kasih telah berbagi cerita mbak, salam kenal.

    http://tjuandha.blogspot.com/

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal juga, terima kasih sudah berkunjung dan membaca cerita ini. Semoga semakin menyadarkan kita akan betapa penting dan berharganya sebuah keluarga yang utuh.

      Hapus
  4. Usia adalah rahasia Sang Pemilik.... Jadi ingat Ayah saya yang harus menyaksikan Anak Lelaki dan Cucu mendahullui. Tiada yang tahu siapa yang akan berangkat dahulu, arisan yang selalu ada pemenangnya setiap detik...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nenek Saya juga seperti itu, beliau telah kehilangan anak dan beberapa orang menantunya, sementara beliau masih sehat walafiat. Terima kasih Mbak Sari telah berkunjung. Salam kenal.

      Hapus
  5. Kematian, hanya Dia yang tahu

    BalasHapus
  6. baca ini aku nangis mbak.semoga anak2 kita sehat selalu.aamiin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amiin Mbak Anik, iya semoga anak2 kita sehat dan panjang usianya. Kadang hal2 kematian membayang di fikiran Saya, duuuh Saya semakin takut kehilangan :(

      Hapus

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita