Pendakian 200 Tahun Meletusnya Gunung Tambora

Lapangan Dusun Pancasila



Hujan deras mengguyur Dusun Pancasila di kaki Gunung Tambora, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Kami berkumpul di sebuah booth (stand) yang tidak digunakan untuk repacking. Menyusun kembali barang-barang bawaan dan mengambil raincoat masing-masing. 

Sudah satu jam berlalu tapi hujan tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Karena khawatir kesorean, kami pun memutuskan untuk tetap berangkat ke pintu rimba (pos kebun kopi) dengan menggunakan jasa ojek dengan membayar ongkos sebesar 50 ribu rupiah per motor.

Adapun jalur pendakian Gunung Tambora dari Dusun Pancasila yang akan kami lalui adalah sebagai berikut:

Dusun Pancasila  – Pintu Rimba/Pos kebun Kopi (673 mdpl) – Pos 1 (1200 mdpl) – Pos 2 (1280 mdpl) – Pos 3 (1600 mdpl) – Pos 4 (1900 mdpl) – Pos 5 (2080 mdpl) – Puncak (2851 mdpl).


Jarak tempuh dari masing-masing perhentian (shelter) mengikuti kecepatan tim kami adalah:
Dusun Pancasila – Pintu Rimba 20 menit (menggunakan ojek)
Pintu Rimba – Pos 1 = 3 jam
Pos 1 – Pos 2 =  2,5 jam
Pos 2 – Pos 3 =  2,5 jam
Pos 3 – Pos 4 =  2 jam
Pos 4 – Pos 5 =  1,5 jam
Pos 5 – Puncak =  3 jam (kecepatan saya dan Yuni)

Jalan Becek menuju Pintu Rimba

8 unit sepeda motor yang digunakan sebagai ojek, berkonvoi beriringan membawa 7 pendaki dan 1 orang porter. Dengan lihai ojek-ojek itu melaju menyusuri jalan tanah yang licin dan becek di antara area perkebunan kopi yang rimbun. Sepanjang jalan tak henti-hentinya saya mengarahkan kamera tablet ke kanan-kiri jalan. Terpesona dengan butir-butir biji kopi yang bergerumul di sepanjang ranting-rantingnya.

Pada beberapa lokasi, kebun kopi diselingi batang-batang pohon tinggi dengan bunga berwarna kuning. Cantik dan menarik. Saat saya tanyakan kepada si Bapak tukang ojek, beliau menjawab tidak tahu. Duuuh sedikit kecewa.

20 menit kemudian kami tiba di pintu rimba. Titik yang menjadi start memasuki kawasan hutan Gunung Tambora. Beberapa warga tampak membuka warung dadakan dengan menjual mie rebus, makanan dan minuman ringan. Warungnya ramai oleh para pendaki yang akan naik maupun turun.

Kami berkumpul dan memanjatkan doa bersama-sama. Agar perjalanan kami dilindungi oleh Allah SWT. Berharap semoga tidak ada sesuatu hal yang menghambat dalam pendakian ini. Naik dengan selamat dan turun juga dengan selamat.

Saya excited. Selalu saja seperti itu setiap kali akan mendaki gunung. Namun kali ini perasaan itu lebih membuncah lagi. Inilah gunung yang letusannya paling dahsyat yang pernah tercatat oleh sejarah manusia. Berada pada skala 7 dari 8 VEI (Volcanic Explosivity Index). Dan memakan korban jiwa sedikitnya 71.000 jiwa. Sebagian lagi menyebutkan mencapai 91.000 jiwa. [1]

Tim Pendaki Tambora dengan Para Pengojek di Pintu Rimba

Saya membayangkan tanah yang saya pijak ini, 3 hingga 5 meter ke bawah adalah sebuah kuburan massal dari dua buah kerajaan yang hilang karena letusan dahsyat Gunung Tambora pada 10 - 11 April tahun 1815. Kerajaan Pekat dan Kerajaan Tambora. Tepat 200 tahun yang lalu. Letusan yang mengubah iklim dunia. Yang menyebabkan tahun tanpa musim panas di Eropa setahun setelahnya. Menyebabkan gagal panen dan kelaparan merajalela. Epidemi tipus juga mewabah di Eropa tenggara dan mediterania. Sehingga menewaskan sedikitnya 100.000 jiwa.

Dengan beriringan kami berjalan satu per satu menyusuri jalur setapak yang membelah kebun kopi yang kemudian tersambung dengan hutan dengan pepohonan tinggi dan canopy yang rapat. Semakin jauh satu per satu tim tercerai –berai mengikuti ritme dan irama berjalan masing-masing. Beberapa kali beristirahat dengan menselonjorkan kaki, menarik nafas dalam-dalam atau membungkukkan badan dengan memegang lutut.

Waktu sudah beranjak pukul 2 siang. Dan kami semua belum makan siang. Pantas saja tenaga agak loyo dan mata kunang-kunang. Beruntung belum muncul bintang-bintang :D Bisa berabe kalau begitu. Kami pun break makan siang. Apa yang ada  kita makan. Kebetulan Kang Asep membawa Pie buatan istrinya dengan rasa coklat durian. Langsung dibagikan satu per satu. Enak dan bikin nambah lagi. Alhamdulillah segitu saja telah menjadi cadangan tenaga untuk melanjutkan perjalanan ke Pos 1.

Tim bergerak lagi. Dalam pergerakan naik, mulai terpencar dengan jarak yang tak terlalu jauh. Namun tanda-tanda tim tidak akan utuh lagi sudah mulai terlihat. Bang Arief dan Kang Asep mulai tertinggal jauh. Porter kami Pak Midun tetap setia menyertai mereka.

Bang Ming pun khawatir dan menyusul ke belakang. Bang Arief  kemungkinan besar kecapekan setelah lebih dari 12 jam mengendarai mobil. Sedangkan Kang Asep mengalami kram di kaki dimana sebelumnya pernah mengalami kecelakaan saat bermain basket. Dan kini kram itu mulai mengganggu pergerakannya.

Pos 1 Tambora 

Karena waktu beranjak sore, saya, Yuni, Kiki, Marita dan Bang Ming tetap melanjutkan perjalanan pelan-pelan hingga tiba di Pos 1. Beberapa belas menit kemudian tim menjadi lengkap. Di Pos 1 kami beristirahat sejenak untuk sholat dan makan sebelum melanjutkan ke pos berikutnya..

Baca juga cerita menggapai puncak Tambora

Note:
[1] Kompas Media Nusantara. 2015. Tambora Mengguncang Dunia. Jakarta. hal.30






9 komentar :

  1. Baca tulisan ini mataku langsung menclok ke coklat durian :))
    Ini yang kemarin ditanyakan oleh mbak Ira *panggil2 mbak Ira*

    Kondisi hujan seperti itu menyulitkan perjalanan kah mbak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sedikit licin sih mbak. Tapi nggak berbahaya dan buat yang suka blusukan ke hutan gini malah enak jadinya udara adem nggak gerah keringatan :D

      Hapus
    2. Iyaaa... aku penasaran ama rasanya. hehehe.

      Hapus
  2. Aaah, kemaren nggak sempat ikut meramaikan tambora :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Padahal Pak Presiden Jokowi saja hadir loh :D

      Hapus
  3. Iya mbak ya, secara tidak langsung dibawah setiap jenkal tanah disitu ada kuburan masal. harus hati hati klo pas nanjak

    BalasHapus
    Balasan
    1. DI dekat kebun kopi yang kami lalui banyak ditemukan peninggalan-peningalan kerajaan yang terkubur ini mbak. Ada situsnya. Di sana ditemukan mangkuk-mangkuk dari dinasti Cina, pagi yang masih berupa butiran, ulekan, keris, biji kemiri. Ajaib masih utuh dan tidak hancur. Hanya gosong saja

      Hapus
  4. Huhuhuhuhuuuu... pengeeeeeeen...... Pengen ke Tambora, juga pengen coklat coklat duriaaan...

    BalasHapus
  5. Tambora. Subhanallah jika mendengar ttg kekuatan dan perubahan iklim dunia yang diakibatkan olehnya.
    Kalau naik gunung, selain cokelat, aku suka bawa kurma juga. Manis2 bikin kuat :)

    BalasHapus

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita