Gadis kecil mungil
itu terduduk di tepi kebun yang berbatasan dengan sawah. Kakinya yang terjuntai
lemah, terpantul-pantul ke tanah. Walau marah meluncur dari bibir seseorang di
dalam kebun Sang Ayah, ia sudah mengalah tak mau menghiraukannya. Kini ia punya
keasyikan tersendiri “Merenung dan melamun” di tepi kebun.
Ia selalu memikirkan
mengapa langit itu biru, mengapa awan-awan terus berjalan, Mengapa
bintang-bintang bertaburan, mengapa bulan terkadang bulat terkadang juga sabit
menyempit? Mengapa angin tidak kelihatan, mengapa terjadi siang dan mengapa harus
ada malam? Semua belum tuntas terjawab. Pertanyaan-pertanyaan itu, sejuta tanya
“mengapa” itu masih berkelindan bermain-main dalam fikirannya.
Mata Gadis itu
menerawang jauh ke depan. Namun pandangannya tiba-tiba tertumbuk pada sesosok
wajah yang begitu rupawan. Berdiri tegap, tepat di hadapan. Tinggi dan kokoh.
Dalam diamnya sosok itu begitu menggetarkan. Menyemai benih-benih rasa yang
selama ini belum pernah ia rasakan. Menelusupkan rasa cinta yang selama
ini belum pernah ia lukiskan dalam lembar
khayalan.
Si Gadis begitu terpesona.
Ini bukan cinta pada pandangan pertama, karena sebelumnya ia pun pernah melihat
sosoknya. Entah mengapa saat itu, dikala sepi menyendiri mengisi pergantian
hari, dikala senja senyap merayap menuju gelap, dikala ia menatapnya lekat-lekat,
dikala sosok itu berdiri dengan tegak, sebongkah asa dan rindu berpadu di dalam
kalbu.
Matanya masih awas
memandangi sosok itu. Seperti sedang mengukur berapa tingginya, ia menyapukan
pandangan ke arah lekuk-lekuk yang membentuk indah wujud kokohnya. Lekukan yang
membayang oleh sinar mentari yang tak ganas lagi. Terkadang ada terang di
wajahnya, terkadang jua meredup tertutup kabut. Ah kabut semoga saja cepat
berlalu.
“Pernahkah
Kau sibak sendiri kabut di wajahmu itu, Ciinta?”
Seperti monolog
tentang rasa, dia hanya terdiam tanpa kata tanpa bahasa. Padahal gemuruh dalam dada
sang pemuja begitu menggelora. Bagaimana? Bagaimana mengatakannya? Dengan cara
apa dia mengungkapkannya?
Wahai alam
berpihaklah kepadanya, biarkan kemegahannya, keteguhannya mengalirkan rasa yang
berbalas! Sejenak saja melalui mimpi-mimpinya.
Namun bagaimana
rasa itu tersampaikan jika menulis saja si Gadis belum lancar. Jika keluar
rumah saja harus selalu ada yang menemani. Jika ke kebun untuk menyiram sayuran
dan pohon-pohon jeruknya harus bersama saudara-saudaranya?
“Ayo Pulang, sudah
hampir maghrib!” Suara itu mengenyahkan keasyikannya. Si Gadis terperanjat,
lalu berdiri.
“Esok,
Aku akan kembali menatapmu di sini.”
Ia berlari
mengejar kedua kakaknya yang telah jauh
pergi. Hanya sebuah asa yang terus-terusan ia pelihara, berharap dewi fortuna
akan memihaknya di lain masa.
“Tunggulah
saatnya Aku dewasa! Jika kelak tiba waktunya, Aku akan ke sana . Tidak semata menatapmu, namun
mencumbui hutan-hutanmu, menapaki curam jurang-jurangmu. Aku akan menari dalam deras
hujan, berlari-lari di lereng bebatuan, menyanyikan syair-syair kerinduan dalam
pelukan alam.”
Bukan sesuatu yang
mustahil sementara kisah perjalanan jauh itu selalu tersampaikan dikala
menjelang isya. Ketika nenek bercerita. Mengalur mengikuti isu zaman. Alkisah
dari negeri para ambiya. Seperti kisah Musa sang pendaki pertama. Tegar merayapi
bebatuan demi bertemu Tuhan seru sekalian alam di satu puncak tertinggi sebuah
negeri.
Tersebutlah berulang-ulang
dalam Al Qur’an. Semenjak Dia Sang pencipta menancapkannya sebagai pasak hingga
kelak melayang beterbangan bagai debu yang tertiup bayu. Membaca itu Si Gadis
makin terharu, betapa rasa cinta itu semakin bertambah besar dan liar.
Gadis kecil tumbuh
menjadi Aku, yang tergetar jika melihat sosoknya yang mengagumkan. Megah tiada
terbantah, agung tanpa terbendung, menjulang menembus batas-batas tingginya
awan.
Aku Yang
tercerahkan hari-harinya jika senantiasa dapat bermain-main dalam pelukannya. Dalam
barisan pinus dan cemaranya, di rerimbunan cantigi dan hamparan edelweis.
Menyesap hawa sejuk yang menghembuskan segala kepenatan jiwa.
Dan kini walau
hidup di kelilingi oleh lautan namun sosok itu senantiasa datang, merayapi
mimpi-mimpi, seakan memanggil-manggil diri ini untuk segera kembali.
Bilakah waktu
memanggilku pada dekapanmu? Aku bertanya! Tolong jawablah agar rasa ini tetap
bermuara pada tempatnya.
Memory di Kebun Jeruk
(Bukan di Jakarta tapi di kebun jeruk betulan :D)
Kampung Papandayan
Sukaresmi Garut, 1986 atau 1987 entahlah
sudah lupa!
Kyaaa,, Mbak,, Foto2nya keren,,
BalasHapushmm,, kpn ya dian bsa menjejek kan kaki di puncak tertingi ?? (ngayal tngkat tinggi) hehehe
Dalam mimpi juga sudah boleh kok Mbak Dian :) Mimpi yang tinggiiii....
HapusKeren keren...
BalasHapusTerima kasih banyak :)
HapusDulu aku juga suka naik ke atas genteng buat liat langit dan pmandangan kalo lagi galau. Lalu pingin banget jadi penjelajh atau pendaki gunung. Sayang ku penyakitan. Senang deh membaca cintamu tidak bertepuk sebelah tangan
BalasHapusMbak pencarian kita sama ya! Saya naik ke pohon jambu batu. Kadang tahan berjam-jam di atas sana. Pernah terjatuh tapi gak kapok, lagi dan lagi. Rasanya tenang banget kalau galau menyingkir ke tempat sepi sambil menatap gunung, awan, sawah-sawah, dan anak sungai.
Hapussubhanallah...fotonya bagus2, sepertinya kita punya rasa cinta yang sama :)
BalasHapusMakasih Mbak Vanda, cintanya sama ya? Hohoho ada temen satu aliran nih. #SalamanPelukan :D
HapusDulu aku juga suka naik ke atas genteng buat liat langit dan pmandangan kalo lagi galau. Lalu pingin banget jadi penjelajh atau pendaki gunung. Sayang ku penyakitan. Senang deh membaca cintamu tidak bertepuk sebelah tangan
BalasHapusRasanya plong dan nikmat banget ya Mbak kalau lihatin langit sm pemandangan itu. Galaunya mendadak hilang. Ih perasaan tadi mlm sdh balas komennya deh kok ngilang ya. *Ini bikin baru :)
HapusDulu aku juga suka naik ke atas genteng buat liat langit dan pmandangan kalo lagi galau. Lalu pingin banget jadi penjelajh atau pendaki gunung. Sayang ku penyakitan. Senang deh membaca cintamu tidak bertepuk sebelah tangan
BalasHapushmmm...menakjubkan ya...
BalasHapuspintar membuat sudut pandang, pintar mengolah kata, pintar mendeskripsikan...
sukaaaa....sekaliiiii....
Waaaah makasih Mbak Imma, Haduh jadi malu, ini mah tulisan geje Saya :)
Hapuswowww!!!!!keren bangettttttttttttt mbk :D
BalasHapusseru banget ya berpetualang naik gunung..indahhhh
Hihihi...makasiiiih. Dipuji tetangga. Eh btw Mbak Hanna ngajar di sekolahan mana? *Kepo
Hapuscinta pertama kita berlabuh pada sosok yang sama ya teh... *halahh..!!
BalasHapusYa ampuuun udah setahun sy baru baca komennya Dee :D gimana biar komen di blog ada notifikasinya?
Hapus