Apa yang terjadi jika 5 orang perempuan kota biasa, “mbak-mbak
kantoran” berusia rata-rata 40 tahun ke
atas, bukan pendaki gunung, dan tidak menyukai petualangan berbau ekstrim, kemudian
memutuskan untuk mengunjungi Tibet? Sebuah negeri terisolir yang dikenal dunia
sebagai “Forbidden land on the roof of the world.” Negeri yang sekelilingnya
diliputi oleh pegunungan yang bahkan
titik terendahnya saja berada di ketinggian 1.615 meter di atas permukaan laut
(mdpl). Titik yang setara dengan ketinggian sebuah gunung di Indonesia .
Berawal dari rencana traveling
Feby, sang penulis buku, yang menargetkan Nepal
sebagai destinasi liburannya, ia kemudian memutuskan untuk menambahkan destinasi
sampingan ke Bhutan atau ke Tibet .
Kebetulan kedua wilayah tersebut jaraknya sudah berdekatan dengan Nepal .
Namun biaya tour ke Bhutan
sangat mahal karena harga sudah dipatok oleh pemerintah setempat. Yakni sebesar
250 dollar AS per hari. Jika dibandingkan dengan Tibet , biaya tersebut kemungkinan
besar bisa ditekan lebih murah lagi karena banyak varian harga yang ditawarkan
oeh jasa tour and travel. Sehingga Tibet diputuskan
menjadi destinasi sekunder setelah Nepal. (hal.10)
Dibalik rencana itu, keinginan Feby di masa kecil menatap dan
menyaksikan langsung gunung tertinggi di dunia, Mount Everest (8.848 mdpl) yang
bersemayam di perbatasan Nepal
dan Tibet
juga berperan dalam memotivasi dirinya untuk terus berusaha agar rencana dan itinerary yang ia susun tetap berlanjut.
Meskipun pada perjalanan waktu hingga beberapa bulan sebelum keberangkatan
masih saja terjadi bongkar pasang anggota grup. Sebagaimana telah diputuskan
oleh Pemerintah Tiongkok, negara yang menguasai wilayah Tibet , bahwa siapa pun yang berkunjung ke Tibet
harus ikut dalam grup dengan anggota minimal 5 orang dan berasal dari negara
yang sama.(hal.13)
Setelah bongkar pasang peserta, didapatlah 5 orang perempuan
yang akan menjadi anggota tour group
ke Tibet .
Mereka adalah Feby 41 tahun, Corry (kakaknya Feby) 50 tahun, Olin (sepupu Feby)
40 tahun, Ossy (teman Feby) 41 tahun, dan Joice (teman Feby) 40 tahun.
Kelimanya sangat jauh untuk dikatakan sebagai anak gunung melainkan anak mall yang suka shopping dan ngerumpi berha-ha hi-hi. (hal.1)
Untuk memuluskan rencana traveling ke Tibet , mereka menggunakan jasa tour and travel Nepal Tibet Trekking dengan
tujuan akhir Kota Lhasa ibukota Nepal .
Perjalanan yang akan mengombinasikan jalur darat dengan jalur udara. Dari Nepal menuju Tibet
menggunakan jalan darat (overland) dan
sebaliknya dari Tibet menuju
Nepal menggunakan pesawat
terbang dengan maskapai penerbangan Air China ,
satu-satunya maskapai yang diperbolehkan terbang ke wilayah Tibet . (hal.19)
Gejala AMS beragam semisal tidak nafsu makan, mual-mual,
muntah, pusing, mimisan, kehilangan kesadaran, hingga paru-paru terisi cairan.
Dan parahnya jika tidak cepat tertolong gejala ini beresiko kematian. AMS
disebabkan oleh aliran oksigen yang tidak mencukupi ke otak dan organ vital
lainnya. Akan berpengaruh mulai dari ketinggian 3000 meter ke atas.
Tidak ada obat yang benar-benar mujarab untuk mengobati AMS.
Mengatasinya dengan segera membawa si penderita ke daerah yang lebih rendah dimana
kadar oksigennya lebih berlimpah. Untuk mengurangi gejala AMS sebaiknya rutin
mengkonsumsi Acetazolamide. Resep ringan yang menstimulasi penyerapan oksigen.
Persiapan money (uang)
pun tak bisa dianggap sebelah mata. Mahalnya sewa kendaraan untuk overland ke Tibet hampir-hampir tidak jauh
berbeda dengan biaya naik pesawat terbang. Untuk biaya perjalanan Nepal – Tibet
selama tujuh hari saja Feby dan rekan-rekannya harus membayar 907 dollar AS per
orang atau 4.535 dollar AS untuk lima orang. Jumlah dollar
yang cukup untuk keliling Eropa. (hal.42)
Persiapan mental adalah hal yang niscaya dalam perjalanan
mengarungi hamparan alam Tibet
yang ekstrim. Berhari-hari berada dalam kendaraan, menahan keinginan mendesak
untuk buang air, bergelut dengan cuaca
yang dingin, dan juga berbagai pemeriksaan demi pemeriksaan dari tentara dan
polisi yang sangat ketat benar-benar membutuhkan kesabaran yang ekstra. Selain
itu kadar oksigen yang tipis, hanya 70 persen dari kadar normalnya sempat
membuat Feby dan rekan-rekannya ragu dan khawatir apakah mereka akan mampu
bertahan atau tidak. (hal. 27)
Dengan bahasa yang ringan, mengalir, dan mudah dicerna, Feby
menceritakan tiap detail peristiwa yang dialaminya dengan lancar dan terkadang jenaka.
Salah satu contohnya seperti saat ia kebelet untuk buang air, ia lalu membuka
pintu toilet. Namun ternyata di dalamnya sudah ada seorang laki-laki India
sedang nongkrong dengan wajah pasrah. (hal. 93)
Peristiwa yang
dialami diceritakan secara berurutan dari awal keberangkatan hingga kepulangan.
Perjalanan dari kota ke kota yang terlewati pun dideskripsikan secara
menarik sehingga pembaca penasaran dengan apa yang akan terjadi pada hari
selanjutnya. Meskipun memiliki tebal 270 halaman buku ini tidak akan terasa
berat. Pembaca akan mampu menyelesaikan lembar demi lembar hingga halaman
terakhir dengan sekali duduk saja. Apalagi didukung oleh foto-foto berwarna dan
hitam putih yang menggambarkan alam Tibet yang luar biasa, isi buku ini
terasa semakin hidup dan nyata.
Kota-demi kota
dengan ketinggian beragam pun mulai dijelajahi. Sulitnya mencari penginapan
yang memadai di wilayah-wilayah yang terlewati, joroknya fasilitas toilet di
hampir sepanjang perjalanan, juga gejala AMS yang hampir membuat pingsan adalah
hal-hal yang menjadi sorotan pada bab-bab selanjutnya.
“Walau jalan kosong melompong, kok mobil konsisten di
kecepatan 40 km/jam. Ampun dah. Kaki udah gatal mau nekan pedal gas. Memang
sih, di sepanjang jalan mulai keluar dari
Friendship Bridge (border Nepal) sampai saat ini, setiap 100 meter
selalu ada rambu bulat, dengan dua garis lingkaran putih merah bertuliskan 40
km/jam. Tapi mbok ya jangan gitu-gitu amat. Lari 60 km/jam kek.” Seperti
diceritakan penulis pada kutipan di atas, berada di Tibet yang jalannya mulus
kosong-melompong, bukan berarti bisa
menjalankan mobil layaknya di jalan tol. Ketatnya cengkraman penguasa Tiongkok
membuat segalanya serba diatur dan serba sulit, baik bagi warga asli Tibet maupun
turis. Bayangkan kecepatan mobil saja maksimal 40 km per jam dan pemeriksaan
oleh polisi atau tentara tiap 200 meter.
Perjalanan tujuh hari menembus ketinggian negeri Tibet
yang sangat luas sungguh merupakan perjalanan yang singkat. Namun karena
singkatnya waktu inilah yang menjadikan perjalanan mereka sungguh luar biasa. Ya,
luar biasa karena tanpa aklimatisasi yang cukup akhirnya mereka selamat dari
ancaman AMS.
Aklimatisasi adalah proses penyesuaian tubuh manusia terhadap
oksigen di udara dalam jumlah yang dibutuhkan untuk kesehatan. Prosesnya bisa
memerlukan beberapa hari. Semestinya aklimatisasi dilakukan oleh Feby dan
rekan-rekannya dengan stay lebih lama
di beberapa wilayah untuk menyesuaikan kondisi tubuh dengan tipisnya oksigen.
Namun dalam perjalanan ini menambah hari berarti membutuhkan cuti yang lebih
lama dan menambah biaya yang jauh dari kata murah.
Perjalanan sekali seumur hidup yang kerap disampaikan Feby
dalam beberapa halaman ternyata
sebanding dengan apa yang ia peroleh. Hal yang membuat pembaca terenyuh adalah
saat penulis menceritakan bahwa ia pernah melihat begitu banyak keindahan di
semua benua. Jordania, Jerusalem , Laut Merah, Laut Tengah , Australia , hingga hidden paradise Ora Beach di Indonesia.
Semuanya tak bisa membuatnya menangis kecuali saat ia berada di Tibet . Menatap
langsung The Nort Face of Giant Everest. Seperti ditulisnya “My childhood
dream. Setelah lebih dari 30 tahun…” kata-kata ini menginspirasi pembaca untuk
tetap teguh pada cita-cita dan keinginan masa kecilnya.
Lalu apakah perjalanan kembali Feby dan rekan satu timnya ke
Nepal akan berjalan mulus
atau mengalami rintangan mengingat ketatnya keamanan di setiap Penjuru Tibet ? Jawabannya
ada di halaman-halaman terakhir. Dan buku dengan cover foto The North Face,
puncak gunung tertinggi di dunia Mount Everest ini layak dijadikan buku panduan
traveling bagi mereka yang menginginkan Tibet sebagai destinasi impiannya.
Judul: 7 Hari 1.500 Kilometer Mengelilingi Tibet
Penulis: Feby Siahaan
Penerbit: Kompas
Tebal: 270 halaman
Terbit: November 2014
Salah satu destinasi impian para traveler. Huaa jadi pingin baca :)
BalasHapusIni buku wajib nih bagi yg niat bgt ke Tibet. Beli beli :)
HapusSaya udah bacaaaa... dan jadi makin pengen ke Tibet :)
BalasHapusOverland dari daratan Indocina terus masuk ke provinsi Yunnan lanjut ke Tibet. Duuh...kapan itu ya Dee. Nunggu anak2 besar dulu atau nunggu umur 40 tahun apa ya? :D
Hapuswaw, 50 tahun masih semangat mendaki, mba? aku jadi penasaran sama tibetnya, kalo di film2 china biasanya dibahas :D
BalasHapusIya, edun banget. Kuat sekali itu Kak Corry. Jadi menyemangati saya untuk tetap mendaki
HapusItu beneran toh soal Bhutan yang 250 dollar sehari? Baca ringkasan bukunya jadi pengen ke sanaaa ihhhh XD
BalasHapusLagi cari info tentang Tibet, tiba2 nyasar kemari haha...
BalasHapusSeperti nya info buku nya menarik, mau coba cari di Gramedia ah, semoga masih ada :-)
Tibet, impian terbesar para pejalan nih mbak.
BalasHapusMasih adakah buku ini? bagaimana mendapatkannya?
BalasHapus