Dilema Antara Kebutuhan Pokok versus Kebutuhan Rokok

Pandemi diantara Kebutuhan Pokok vs Kebutuhan Rokok
Dilema Antara Kebutuhan Pokok vs Kebutuhan Rokok

Tubuhnya terguncang kencang. Namun matanya tetap terpejam. Perawakan yang kurus dan kering tampak membayang di balik selimut tuanya. Batuk yang sedang mendera, tak berhenti terus menyerangnya. Sakit paru-paru yang bahkan sejak saya kecil sudah ia derita, tak jua membuatnya jera. Seharusnya ia berhenti dari benda yang membuatnya menderita. Yaitu rokok.


Dialah ayah saya. Sudah beberapa hari itu saya menyaksikan betapa menderitanya beliau. Dan itu terjadi 2 tahun silam. Namun hingga kini, ia masih saja menghabiskan usia senjanya dengan deraan batuk yang berkepanjangan, yang kerap datang setiap magrib dan subuh menjelang. Terkadang di sela-sela tidurnya pun ia harus terganggu dan terbangun karena batuk yang terus-menerus mengganggunya. 


Tidak hanya ayah saya tercinta saja yang menderita seperti itu. Kebanyakan para pria di keluarga besar kami terutama dari pihak ibu, juga memiliki riwayat penyakit yang sama. Abang ipar dan adik kandung ibu, semuanya perokok berat. Semakin hari kesehatan mereka semakin memburuk seiring usia yang terus bertambah. Bahkan satu per satu abang ipar ibu meninggal. Meninggalkan kakak-kakak perempuan ibu yang hidup menjanda. Sekarang dari pihak keluarga ibu, hanya tinggal 2 orang lagi laki-laki yang tersisa. Yakni kedua paman saya yang kini sedang berjuang dengan penyakitnya masing-masing yang erat kaitannya dengan rokok. 

Ayah saya bersama kedua cucunya.


Dari kondisi kesehatan keluarga besar itu, saya sudah mengamati kondisi masyarakat di kampung kami dimana kebanyakan para pria adalah perokok berat. Sangat sulit mendapati salah satu diantara warganya yang bukan perokok. Bisa dikatakan 100% para pria di kampung ini adalah perokok. 


Dari situ saya juga mengamati bahwa kebanyakan para pria di kampung kami usianya pendek-pendek. Sejak saya kecil para tetangga kami kebanyakan adalah janda-janda dengan beberapa anak. Sementara suami mereka sudah banyak yang meninggal. 


Sejak saya kecil itu pula, kerap berfikir kenapa para pria di kampung ini kebanyakan meninggal terlebih dahulu sementara pola makan orang-orang di sana cenderung lebih sehat. Seringnya makan sayuran dan buah. Begitupun dari pola istirahat dan bekerja, hampir sama saja dengan para wanitanya. Bertani atau berdagang, kecuali menjadi kuli bangunan yang hanya dilakukan para pria. Namun, ternyata ada satu pola kebiasaan yang membedakan yakni para pria adalah para perokok sementara para wanitanya tidak sama sekali. Fenomena yang sungguh nyata di depan mata namun tidak mereka sadari.


Dari pemikiran-pemikiran itu, saya mulai membenci rokok dan berdoa jika kelak punya suami bukanlah seorang perokok. Selain itu saya akan berjuang untuk adik laki-laki saya jika kelak besar akan saya arahkan untuk tidak merokok. 


Bertahun-tahun berlalu. Setelah saya merantau ke Batam, adik saya di kampung pun beranjak remaja. Setiap saya menelpon, selalu mewanti-wanti kepada ibu agar menjaga adik supaya tidak merokok. Saya juga berbicara kepada adik dari hati ke hati. Mengobrol ngalor-ngidul membahas tentang bahaya rokok dan manfaat yang akan diperoleh jika ia tidak merokok. 


Saya selalu bilang kepada adik jangan takut dibilang tidak keren karena tidak merokok. Karena jika tua nanti lalu sakit-sakitan seperti ayah kami, siapalah lagi yang akan peduli padanya. Jika anak-anak muda yang dianggap keren itu sekarang berpatokan ke dunia Barat dalam hal gaya hidup, seharusnya mereka juga melihat bahwa di Eropa saja, pengguna rokok sudah menurun drastis. Mereka lebih keren dan berfikiran dewasa karena ingin sehat sepanjang hayat. 


Alhamdulillah usaha saya membujuk dan memberi pengertian tentang bahaya rokok tidak sia-sia. Adik saya semenjak kecil hingga kini usianya 26 tahun tidak merokok sama sekali. Dan ini membuat saya bahagia karena pola edukasi yang saya terapkan ternyata berhasil. Yang lebih berbahagianya lagi, Alhamdulillah akhirnya saya pun mendapatkan suami yang bukan perokok.


BAHAYA MENJADI PEROKOK PASIF

Menilik tentang bahaya rokok kepada keluarga si perokok itu sendiri, saya punya dua kasus yang sangat membekas dalam ingatan. Sekitar 2 tahun lalu, anak tetangga yang usianya belum genap satu tahun tiba-tiba meninggal karena kelainan jantung. Si istri tetangga bercerita sendiri kepada saya bahwa dokter anaknya bilang kelainan jantung anak dia memang sudah bawaan lahir namun kondisi kesehatannya diperparah oleh asap rokok yang msuk ke dalam tubuh si bayi disebabkan oleh suaminya yang merokok di dalam rumah.

Balita Berpotensi Menjadi Perokok Pasif


Kasus lainnya adalah seorang pria teman kantor yang harus rela kehilangan bayi yang baru berusia beberapa bulan dikarenakan asap rokok yang biasa dia hisap. Saat istrinya datang ke kantor, ia bercerita kepada pihak personalia bahwa teman kantor saya ini suka merokok di rumah sehingga anaknya sendiri terkena dampaknya.


Kasus lain diceritakan Teh Elis, sepupu saya yang menjadi tim penyuluh dari Puskesmas Cilimus yang memegang 9 desa di sekitar Kecamatan Bayongbong Garut. Dari seluruh desa yang berada di bawah wilayah penyuluhannya, 99% para laki-lakinya dalah perokok. Hanya 1% saja yang tidak merokok. Parahnya lagi ketika ia memberi penyuluhan kepada anak-anak SD, ditemui fakta bahwa anak-anak kelas 5 SD sudah banyak ayng mulai merokok. Miris memang. 


Berdasarkan obrolan Teh Elis dia menceritakan bahwa 98 dari 4.000 anak atau 2,45% anak di wilayahnya mengalami gangguan stunting (kerdil) yang disebabkan oleh si ibu saat hamil menjadi perokok pasif. Si ibu secara tidak sadar telah mengisap asap rokok yang dihisap suaminya di rumah.


Menurut Teh Elis, akhir-akhir ini hampir di setiap rumah di desa-desa yang dia kunjungi, menemukan ada saja anggota keluarga (terutama ibu-ibu) yang mempunyai gejala darah tinggi. Setelah dia telusuri  karena di rumahnya terpapar asap rokok.

Dilema Antara kebutuhan Pokok vs Kebutuhan Rokok
Anak-anak dan Ibu hamil terancam karena rokok


Fakta lain dari lapangan diceritakan Teh Elis bahwa terdapat kasusu para suami dari pasangan muda kerapkali mengeluh karena terjadi ejakulasi dini. Hal ini tentu tidak jauh dari penyebab utamanya yakni rokok.   


Kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang sudah menjadikan rokok sebagai budaya dan bahkan kebutuhan sehari-hari layaknya kebutuhan pokok, seharusnya segera dibenahi, diperbaiki dan pelan-pelan diedukasi. Terlebih di masa pandemi seperti sekarang ini, para pria seharusnya lebih peduli lagi dengan kondisi kesehatan dan keuangan keluarga. 


Para keluarga dari ekonomi menengah ke bawah merupakan pengguna rokok terbanyak dan mereka juga merupakan kelompok masyarakat yang paling terdampak oleh pandemi ini. Jika mereka bijak dalam masalah keuangan, seharusnya kebutuhan rokok bisa ditekan guna mendahulukan kebutuhan pokok terutama makanan dan tempat tinggal. 



TALK SHOW RUANG PUBLIK KBR

Ketika berkesempatan untuk mengikuti Talk show Ruang Publik yang diselenggarakan oleh KBR yang membahas tentang Pandemi antara Kebutuhan Pokok versus Kebutuhan Rokok, saya sangat antusias untuk menyimaknya meskipun tidak menonton secara live


Pandemi: Kebutuhan Pokok vs Kebutuhan Rokok


Dipandu oleh Don Brady, talk show yang diselenggarakan pada Rabu 26 Agustus 2020 pukul 09:00 - 10:00 WIB ini menghadirkan dua pembicara yakni Nurul Nadia Luntungan Peneliti CISDI dan M. Nur Kasim Ketua RT 001 RW 003 Kampung Bebas Asap Rokok dan Covid-19 Cililitan, Jakarta Timur.


Sebelum acara talk show dimulai, Don Brady selaku host membacakan sebuah data yang membuat kami para pendengar tercengang. Ia menyampaikan bahwa BPS telah merilis data pengeluaran non konsumsi perkapita sebulan lebih dari 50% dimana jumlah pengeluaran untuk rokok lebih dari 6% secara rata-rata nasional. Pengeluaran uang yang ternyata lebih besar dibanding pengeluaran untuk membeli beras yakni 5%. 


BPS juga mencatat pengeluaran rokok khususnya rokok kretek filter merupakan komoditas penyumbang terbesar kedua pada kemiskinan setelah makanan. Angka ini memiliki kontribusi 11% di perkotaan dan 10% di pedesaan. Sementara itu di masa pandemi ini jumlah perokok meningkat hingga 13%. 


Menurut Nadia, di Indonesia merokok sudah menjadi kebiasaan sehari-hari dan menjadi kebutuhan rumah tangga secara normal. 7 dari 10 laki-laki di Indonesia adalah perokok. Masyarakat menganggap rokok merupakan bagian dari hidup normal. Seharusnya gambaran seperti ini perlu diubah.


Lalu bagaimana mengubah sesuatu yang dianggap sudah menjadi bagian dari hidup keseharian dan bahkan menjadi pola hidup? Seperti apa mindset orang-orang tentang rokok dan apakah dari dulu terjadi mindset seperti itu?


Nadia berkata mindset terbentuk karena lingkungan. Di Indonesia mau merokok sangatlah mudah. Harga rokok bisa dibeli per bungkus maupun ketengan (satuan atau batangan). Harga sebatang rokok bahkan sama dengan harga air mineral gelas. Ini berarti rokok merupakan barang normal yang dikonsumsi layaknya air minum karena harganya sangat murah. 


Penjualan rokok juga menyebar masif baik di supermarket hingga warung-warung kelontong dan eceran tepi jalan. Bahkan di warung makan pun masih bisa didapati penjualan rokok. Yang mengenaskan adalah bahwa harga rokok lebih murah dibanding dengan sebungkus mie instant. Sementara kita tahu bahwa mie instant adalah salah satu produk yang murah yang terjangkau oleh berbagai lapisan masyarakat. 


Nadia juga menyebutkan, sejak kecil kita bahkan kerapkali dicekoki oleh iklan-iklan rokok dengan tagline yang keren-keren sehingga sudah terbiasa. Akhirnya rokok sangat melekat erat di kehidupan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, sangat sulit bagi mereka yang ingin berhenti merokok menemukan lingkungan yang kondusif karena lingkungan masyarakat di Indonesia sangat toksik sehingga sangat sulit bagi seseorang untuk tidak menjadi perokok atau berhenti dari kebiasaan merokok.

Dilema Antara kebutuhan Pokok versus Kebutuhan Rokok
Di taman bermain anak-anak, kadang masih saja terdapat perokok 


Di kehidupan sehari-hari sering kita dapati guyonan yang terkadang bersifat konyol seperti seloroh bahwa mending tidak makan daripada tidak merokok. Selain itu, di masa pandemi seperti ini muncul anggapan bahwa merokok dapat mencegah Covid-19 datang. Sebuah pernyataan yang sungguh tidak berdasar dan bersifat defense mecanism belaka. Karena sesungguhnya rokok ini walaupun merupakan barang legal ia tetap barang yang berbahaya.


Nadia juga menyampaikan bahwa 80% perokok ada di taraf low middle countries. Status ekonomi berpengaruh kepada kebiasaan pengguna perokok. Yaitu ekonomi menengah dan bawah. Bappenas memperkirakan angka pengangguran naik 4-5 juta orang di tahun 2020. Ini mengakibatkan keluarga Indonesia kesulitan untuk mendapatkan kebutuhan pokok. Namun sungguh ironi jika dihadapakan dengan konsumsi rokok yang bahkan meningkat seperti yang disebutkan di atas yakni naik hingga 13%.


Pembicara lainnya yakni Pak M. Nur Kasim menyampaikan bahwa sebulan lalu wilayahnya baru saja diresmikan sebagai Kampung Bebas Rokok dan Covid-19. Semula kawasan ini merupakan kawasan yang kumuh dan kurang tertata. Namun, beberapa waktu lalu kampungnya diinisasi untuk menjadi kampung warna-warni. Setelah berhasil, selanjutnya kawasan ini dijadikan Kampung Bebas Asap Rokok. 


Menurut penuturan Pak M. Nur, untuk memulai program Kampung Bebas Asap rokok ini, maka dikirimlah dua kader untuk berangkat ke Solo pada 26-31 Juli 2019. Di sana keduanya mendapatkan pelatihan di sebuah kampung bebas asap rokok. Setelah itu dua kader dan juga para pengurus RT dan RW di lingkungannya melakukan survei ke rumah-rumah guna mensosialisasikan. Survei ini pun direspon positif oleh para ibu-ibu. 


Di lingkungannya, perlahan-lahan Pak M. Nur memberikan penyuluhan dan pengertian kepada warga untuk tidak merokok di dalam rumah. Beberapa langkah yang sudah ia tempuh diantaranya dengan membuat spanduk-spanduk tentang bahaya rokok. Selain itu ia juga selaku RT selalu menegur jika ada warga yang masih merokok di teras rumah. Pak Nur sendiri tidak merokok. Begitu juga dengan ketiga anak laki-lakinya.


Sejauh ini sudah ada beberapa warga yang berhenti merokok, minimal mengurangi. Ada beberapa bapak-bapak yang biasa menghabiskan 3 bungkus sehari kini menjadi 2 bungkus. Yang 2 bungkus menjadi 1 bungkus dan yang semula menghabiskan 1 bungkus jadi hanya beberapa batang saja. "Dari kebiasaan mengurangi ini, uangnya sudah bisa dimanfaatkan untuk dibelikan kebutuhan rumah tangga seperti alat elektronik dan menambah uang jajan anaknya." Papar Pak M.Nur. 


TANGGAPAN, PERTANYAAN PENDENGAR DAN PENONTON TALK SHOW

Acara talk show juga memberi kesempatan kepada para pendengar dan penonton di kanal youtube untuk bertanya dan berinteraksi. Seorang penanya bernama Hengki dari Tomohon Sulawesi Utara menceritakan bahwa di daerahnya, Tomohon, muncul pernyataan beberapa orang yang mengatakan kalau merokok tidak akan terjangkit Covid-19. Rokok di sana malah tambah laku, baik di warung maupun toko. Di lingkungannya juga masih sering muncul anggapan bahwa sewaktu muda kalau tidak merokok berarti tidak gaul. Nah anggapan-anggapan yang keliru seperti ini harusnya segera diluruskan. 


Menanggapi Pak Hengki tadi, Nadia menyatakan bahwa di masyarakat tanggapan dan persepsi tentang rokok amat beragam. Kadang tidak berdasarkan data dan fakta. Lebih kepada bentuk defense mecanism atau mekanisme defensif dimana mereka melakukan pertahanan diri karena merasa diserang atau terancam.


Di masyarakat Indonesia, komunitas perokok sangat besar sehingga akan banyak sekali excuses dan seribu satu macam alasan untuk merokok tanpa batasan. Oleh sebab itu timbul keinginan untuk menolak data yang akurat. Memunculkan mitos-mitos yang tidak benar sehingga data menjadi terbalik. Terbukti bahwa menurut data resmi, para perokok yang terkena Covid-19 cenderung mengalami gejala lebih parah dibanding dengan yang tidak merokok. Sementara di masyarakat yang berkembang malah sebaliknya, rokok dianggap dapat menghindarkan diri dari Covid-19.


Nadia juga mengatakan bahwa adiksi merokok sangat kuat. Merokok tidak hanya merupakan kebiasaan buruk tapi merupakan adiksi yang nyata. Dibanding narkoba, maka adiksi nikotin yang terdapat di dalam rokok jauh lebih besar di dunia. Ia sendiri pernah terlibat dalam membantu para perokok yang adiksi untuk berhenti merokok. Dan itu sangat sulit untuk dilakukan. 


Dilihat dari perspektif perokoknya, rata-rata mereka tahu semua resiko yang akan ditimbulkan. Mereka juga tidak mau mati sia-sia karena kanker paru-paru. Tapi, karena adiksi nikotin yang terdapat dalam rokok sangat susah dihilangkan, maka para perokok ini sungguh tidak berdaya. 


PANDEMI DAN KEBIASAAN MEROKOK DI MASYARAKAT

Kembali kepada bahasan utama dimana untuk apa tulisan ini dibuat, yakni berbicara tentang dilema yang terjadi di masyarakat antara kebutuhan pokok dibandingkan dengan kebutuhan rokok. Dalam kondisi pandemi seperti sekarang ini, ternyata tak sedikit pun dapat mengubah kebiasaan mereka para pecandu rokok mengurangi kebiasaan toksiknya ini. Fakta dimana perokok lebih beresiko menderita Covid-19 lebih parah dibandingkan yang tidak merokok bahkan tidak menggentarkan mereka.


Ketika pendapatan berkurang, pekerjaan tidak tetap, masa depan tidak jelas, hari esok keluarga entah makan atau tidak, dari yang saya amati di lingkungan keluarga dan lingkungan sekitar tetangga, para perokok tidak begitu memperdulikan. Bagi mereka, rokok adalah sebuah kebutuhan pokok. Maka pantas saja pengguna rokok malah meningkat di masa-masa sesulit ini sekalipun.


Tidak jauh-jauh ambil contoh, kakak laki-laki saya sendiri yang kini berusia 47 tahun dengan tanggungan 5 anak, tidak memiliki pekerjaan tetap, terkadang beberapa minggu menganggur, ketika saya tanya apakah di masa pandemi seperti ini ada pengurangan konsumsi rokok atau tidak? Dia menjawab tidak ada. "Sama saja dengan kebiasaan sebelum-sebelumnya." Entengnya. Padahal saya tahu persis sebelum pandemi, dia mempunya pekerjaan tetap sementara sekarang tidak menentu dan berganti-ganti pekerjaan secara tidak pasti.


Lain cerita dengan sepupu saya. Pengeluaran per hari untuk merokok adalah satu bungkus seharga Rp 25.000. Jika dikalikan 30 hari maka hasilnya sebesar Rp 750.000. Angka yang besar yang bahkan cukup untuk biaya belanja saya ke pasar selama bulan. Sepupu saya bilang, sebelum dan dalam masa pandemi begini konsumsi rokok tidak ada bedanya. Dia tetap merokok 1 bungkus sehari sementara gaji yang diterimanya juga sama saja. Tidak berubah. 


Melihat kasus-kasus di atas yang terjadi kepada ayah, kakak, sepupu dan orang-orang di kampung saya sendiri tentu membuat kita sangat prihatin. Namun, mengubah orang-orang seperti mereka amatlah susah. Maka saya memulai edukasi kepada adik, keponakan dan anak saya. Menularkan ilmu dan pengetahuan tentang bahaya merokok dengan kenyataan riil di lapangan. Dengan contoh kasus yang menimpa beberapa orang di keluarga besar kami. 


Saya juga bercerita dengan para saudara, sepupu dan keponakan perempuan untuk sedikit banyaknya memberi tahu kepada mereka agar anak-anak mereka kelak tidak seperti para ayah, paman dan kakek mereka yang sangat candu terhadap rokok. 


Dari obrolan dengan para perempuan ini, saya malah mendapatkan insight yang baik. Ternyata ibu-ibu di kampung sudah mulai menyadari akan bahayanya rokok. Maka, ketika ada acara-acara syukuran seperti akikahan atau lainnya, tuan rumah lebih suka mengundang ibu-ibu dibanding bapak-bapak untuk melakukan doa bersama. Kata mereka ini demi melindungi anak-anak dan keluarga di rumah dari kepungan asap rokok yang biasa terjadi di acara-acara yang kerap dihadiri oleh bapak-bapak. 


Trik ibu-ibu di kampung ini, membuat saya tertawa senang. Sungguh ide yang cemerlang. Betapa masih tersimpan dalam ingatan, dulu ketika kecil, saya selalu ikut ayah menghadiri acara-acara syukuran akikah atau kegiatan rutin berdo'a bersama seperti tahlilan. Biasanya, setelah acara do'a selesai kemudian disambung acara makan-makan. Setelah makan-makan, mulailah acara mengobrol dengan ritual merokok bersama. Bahkan seringnya tuan rumah sendiri yang menyediakan rokok untuk para tamunya. Tak satu pun yang terlewat atau menolak. Semua bapak-bapak dengan santai mengepulkan asap yang memenuhi seluruh ruangan. Sementara anak-anak seperti saya hanya bisa menahan nafas sambil menatap polos pada bulatan asap yang keluar dari mulut bapak-bapak itu. Tak terbayang apa yang menimpa si bayi yang baru saja didoakan itu. Dicukur rambut, diberi nama, dido'akan lalu diasapi rokok :D    


KEBIJAKAN YANG PERLU DIAMBIL PEMERINTAH

Berlarut-larutnya kondisi masyarakat Indonesia dalam menghadapi masalah rokok, sungguh merupakan hal mendesak dan sangat penting bagi para pengambil kebijakan untuk segera mengambil keputusan menaikkan cukai rokok. Sehingga peraturan ataupun kebijakan tentang rokok secepatnya disyahkan dan #PutusinAja dalam waktu dekat.


Mengapa menaikkan cukai rokok sangat mendesak? Karena dengan cara inilah yang paling berdampak untuk mengurangi penggunaan tembakau sehingga dengan mengenakan pajak atas produk tembakau akan mengurangi jumlah perokok secara nasional. 


Beberapa negara telah berhasil menggunakan pajak untuk mengurangi tingkat merokok sehingga menuai manfaat kesehatan dan pendapatan yang signifikan. Beberapa diantaranya menetapkan tujuan yang ambisius, seperti Selandia Baru yang menaikkan harga sebungkus rokok menjadi 30 dolar. melalui pajak cukai. Sayangnya, sebagian besar dunia, terutama di negara-negara yang lebih miskin dan tertinggal, tidak banyak yang menerapkan cukai maupun pajak tembakau yang tinggi.


Dikutip dari situs resmi WHO, kenaikan cukai rokok yang cukup besar akan menaikkan harga produk tembakau. Dengan mengamati perilaku perokok, para peneliti telah menentukan bahwa rata-rata kenaikan harga rokok sebesar 10% membuat konsumsi rokok turun antara 2% hingga 8%.


Begitupun harga tembakau yang lebih tinggi sangat efektif dalam mengurangi penggunaan tembakau pada populasi yang lebih rentan, seperti kaum muda dan masyarakat berpenghasilan rendah. Karena kelompok tersebut sangat sensitif terhadap kenaikan harga. Kenaikan cukai rokok sangat dibutuhkan di negara-negara di mana daya beli konsumen sedang tumbuh. Ketika pendapatan naik lebih cepat dari harga rokok, maka merokok akan menjadi lebih terjangkau sehingga mendorong konsumsi. Kenaikan cukai adalah cara yang terbukti dan efektif untuk membuat harga rokok dan produk tembakau lainnya menjadi kurang terjangkau.


Dengan hanya menggunakan pajak tembakau dan cukai rokok, negara-negara dapat secara realistis mencapai target Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam rangka pengurangan 30% dalam prevalensi merokok pada tahun 2025. Sayangnya, banyak pemerintah masih enggan menaikkan cukai dan pajak, karena mereka sering bergantung pada laporan industri tembakau yang biasanya menunjukkan bahwa kenaikan pajak tambahan akan menyebabkan penurunan penerimaan pajak atau peningkatan penyelundupan rokok secara besar-besaran. 

Indonesia merupakan negara dengan harga rokok termurah di Asia


Harga rokok Indonesia termasuk salah satu yang termurah di Asia. Perbandingan harga sebungkus rokok merek tertentu saja setelah cukai yang dilansir oleh situs pemeringkat Numbeo menunjukkan rokok Indonesia berkisar Rp 20.000. Rokok Indonesia ini seperenam harga di Singapura yang menjual rokok sejenis dengan kisaran Rp 120.000 (Data tahun 2016).


Selain itu, Indonesia masuk dalam daftar negara dengan harga rokok termurah di dunia. Berdasarkan data dari UN Office of Drugs and Crime dan Numbeo pada 2016, Indonesia menempati urutan ke-13 dengan harga US$ 1,45 per 20 batang rokok Marlboro. Peringkat pertama ditempati oleh Nigeria dengan harga jual US$ 0,64.

Rokok di Indonesia termasuk ke dalam rokok termurah di dunia


Dilansir dari Liputan6.com, industri rokok memang memberikan pemasukan yang cukup besar untuk negara. Tarif cukai yang setiap tahun naik, ikut menyumbang pendapatan bagi APBN. Namun ternyata, industri rokok juga menggerus uang negara. Biaya kesehatan yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk biaya pengobatan bagi orang yang sakit akibat rokok juga SANGAT BESAR.


Wakil Kepala Pusat Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Abdilah Ahsan mengatakan, sesungguhnya kebiasaan merokok orang Indonesia tidak memberikan keuntungan finansial kepada negara. Uang negara yang tergerus dalam bentuk pelayanan kesehatan lewat BPJS Kesehatan bagi penyakit yang disebabkan oleh kebiasaan merokok mencapai Rp 160 triliun per tahun. Sementara jumlah anggaran yang harus dikeluarkan untuk mengatasi akibat rokok lebih besar dibandingkan dengan total pendapatan negara yang diperoleh dari cukai hasil tembakau.


Sebagai informasi, pada 2017, penerimaan negara dari cukai mencapai Rp 150,81 triliun. Cukai hasil tembakau (HT) menyumbang porsi terbesar yakni Rp 145,47 triliun. Ini berarti dampak yang harus ditanggung negara jauh lebih besar dibanding pendapatan yang diperoleh.



Sumber Referensi:

1. https://www.youtube.com/watch?v=jvBOXJhHMQY
2. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/01/11/rokok-indonesia-termasuk-termurah-di-asia#
3. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2016/11/08/indonesia-masuk-daftar-15-negara-dengan-harga-rokok-termurah#
4. https://www.liputan6.com/bisnis/read/3618408/tak-menguntungkan-rokok-justru-gerus-uang-negara-rp-160-triliun-per-tahun


67 komentar :

  1. Memang rokok nih dilema bangeeett Mba
    Aku juga sebel ama perokok, tapiii dulu aku sempat kerja di pabrik rokok :)))
    Duh... temen2ku tuh kalo ngrokok kayak asap kereta dah, beneran bikin sesek!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mbak sama. Kalau lagi ngumpul sama teman-teman cowok itu kita yang bengek sendiri. Sedak nafas.

      Hapus
  2. Aku gak suka perokok. Adik sama Keponakan perokok aktif. Bapak kini perokok pasif karena sering kumpul sama perokok. Susah banget dibilanginnya. Sedih aku tuh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah adik dan ponakan saya nggak merokok karena sedari kecil udah saya arahin biar tidak merokok seperti ayah dan kakeknya.

      Hapus
  3. Bahaya banget rokok ini ya. Semoga dengan gerakan seperti yang diselenggarakan KBR ini bermanfaat bagi banyak orang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bahaya banget karena aku sudah merasakan efek bahaya rokok ini dari almarhum papahku mbak.

      Hapus
    2. Iya Mbak. Kampanye yang terus-menerus akan menjadi awareness bagi masyarakat Indonesia yang sudah toksik sama rokok.

      Hapus
  4. Sekarang baru paham saya mengapa cukai rokok tinggi dan pada peringatan bungkus selalu ada tentang bahaya merokok. Rupanya cukai yang dibayar tidak sesuai dengan pengeluaran ke BPJS ya mbak. Pendapatan negara malah minus dan bukannya surplus. Jadi memang nggak perlu diperpanjang masalah produksi rokok ini ya kecuali dipikirkan bagaimana para pekerja di sektor rokok mendapat pekerjaan di sektor lain

    BalasHapus
    Balasan
    1. Harga rokok di Indonesia yang murah disebabkan oleh cukai rokok yang rendah sehingga masih sangat terjangkau oleh daya beli masyarakat.

      Hapus
  5. Secars logika sebenarnya sudah jelas kelihatan ya, bahwa rokok tidak bisa dibenturkan pemenuhannya dengan kebutuhan pokok. Seharusnya malah tidak perlu dikonsumsi sama sekali.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar Mbak. Tapi tidak bagi para penggunanya. Rokok sudah bagaikan sembako bagi mereka.

      Hapus
  6. Ironis ya, para perokok ini tau kalau rokok berbahaya, tapi susah menghentikan kecanduannya...

    BalasHapus
  7. Aku sudah mengalami bahayanya rokok inilah, dulu almarhum papahku pergi karena rokok. Kadang emang dilema banget sih ya sama rokok ini, tapi alhamdulillah banget suamiku tidak merokok.

    BalasHapus
  8. Alhamdulillah ya bisa edukasi ke adik untuk ga merokok.
    Huhuu, aku masih jadi perokok pasif, circleku pada meroko, di kantor ngebul terus karyawan , pekerja onlen ga lepas dari rokok, meski udah tahu akibatnya. Ya sudah rasakan sendiri aja sakitnya, hihi.

    BalasHapus
  9. Iya Teh gemas sama perokok yang egois dan merokok di sembarangan tempat tanpa merasa bersalah, dulu teman kantor sakit paru-paru gara-gara jadi perokok pasif di kantor huhu sedih...

    BalasHapus
  10. sedih ya mbak, bener bener miris sementara pandemi mencekik leher tapi tetep saja bisa ngerokok. harus ada regulasi ketat dalam jual beli rokok di negara kita mbak, sepertinya lebiih banyak warga miskin yang membeli rokok.

    BalasHapus
  11. Dulu orang-orang di sekitar saya ini semuanya perokok. Ternyata Allah menyelamatkan saya dengan bertemu suami yang tidak merokok sama sekali. Alhamdulillah. Ternyata memang beda sekali rasanya dikelilingi perokok dan dengan yang bukan. Semoga yang saat ini masih merokok bisa dibebaskan dari kebiasaan merokok ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau saya memang mencari suami yg tidak merokok, krn bapakku perokok dan pengennya mata rantai perokok itu putus di generasi selanjutnya :D

      Hapus
  12. Saya sering debat gara-gara rokok dengan bapak saya. Ya, sama dengan keluarga besarnya Mba Lina, bapak saya juga hobi banget ngerokok. Saya sering nasehati dan memberi tahu bahaya merokok, jawabnya ngeneki banget, "mati itu sudah takdir, yang gak ngerokok juga mati,"
    Kalau bukan bapak sendiri udah saya ceramahin dari A - Z.

    Makanya saya juga nyari suami yang gak ngerokok, Alhamdulillah.. terkabul.

    Rokok itu, bener-bener daah..

    BalasHapus
  13. Sebagai orang yang hidup dengan salah satu keluarga perokok, jujur suka sedih. Sangat nggak suka dengan bau asap rokok. Walaupun suami merokok jauh dari kami tapi tetap saja khawatir dengan kesehatannya. Di satu sisi dilema juga masalah rokok ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju banget , serba salah yaaa..
      Huhuu dilingkungan kantor sambil kerja sambil ngebul, ketemu temen2 semuanya pada ngerokok.
      Aku perokok pasif, hiks..
      Masa iya pertemanan dan kekeluargaan terputus hanya karena 'rokok"

      Hapus
  14. Iya mba.. Bagi yg sudah addict dg rokok selalu bilang lebih baik gak makan nasi drpd gak merokok. Kan ngenes banget gitu. Padahal seiris tempe yg harganya jauh lebih murah manfaatnya lebih tinggi dibanding rokok.

    BalasHapus
  15. Sayangnya dalam pengendalian rokok ini pemerintah tidak tegas ya Mba... aturan denda merokok sembarangan tidak pernah bisa ditegakkan... namun selalu ada harapan... statiun kereta api yang dulu penuh dengan asap rokok sekarang sudah tidak ada lagi karena petugasnya selalu tegas menegur pelanggar...

    BalasHapus
  16. Adriana Dian05 September, 2020

    rokok itu memang sangat membahayakan sekali ya mak, ngga cuma bahaya untuk kesehatan tapi bahaya untuk kantong juga ya kalo dipikir pikir.. huhu. makasi sharingnya ya maaaak

    BalasHapus
  17. Makanya saat kmrn ada pabrik rokok di Sby karyawannya kena covid dan berimbas sama penjualannya rasanya saya bersorak huhu. Rokok nih candu, agak susah sih berhentinya, bapakku jg perokok, makanya pas nyari suami cari yg gk merokok xixixi. Krn memutus rantainya susah. Sedih deh kalau ada yg lbh milih beli rokok ketimbang beli susu buat anaknya :(

    BalasHapus
  18. Rokok ini pintar sekali...menyelusup hingga ke alam bawah sadar manusia sehingga bisa menguasai pikiran bahwa "Kalau gak ngerokok, gak keren" atau gak solider, atau alasan lainnya yang membuai.
    Di keluargaku juga, kak Lina.. Bapak dan Mas nomer 2.

    Selalu ada alasan yang kuat dulu...baru bisa berhenti.

    BalasHapus
  19. Aku suka sedih liat realita kebanyakan orang pilih rokok dibanding kebutuhan keluarganya.
    Di sekitarku banyak yg gitu.

    Btw dulu papaku jg akhirnya sakit paru karena rokoknya kenceng dr zaman sekolah. Trus akhirnya berhenti, sampai sepupu yg biasa nemenin papa kalo misal deket2 atau ada urusan sama papa pasti ga ngerokok.

    Tp skrg mereka balik lagi. Dan ponakan2ku jg akhirnya ngerokok. Untung adekku nggak. Peernya adalah untuk mengedukasi anak2ku supaya kedepannya gak begitu. Saat ini mereka juga udah jd perokok pasif krn lingkungan. Mau gimana, aku cuma bisa menjauhkan dan memberikan jarak sama mereka

    BalasHapus
  20. Perokok jaman sekarang tuh kreatifnya luar biasa, mbak. Harga rokok naik, mereka banyak yang beralih ke rokok linting dhewe itu. Tinggal beli tembakau terus digulung sendiri. Repot deh.

    BalasHapus
  21. Aku juga terkadang bingung karena orang terkasih yang ngerokok kadang lupa kalau ada kebutuhan pokok yang harus diprioritaskan

    BalasHapus
  22. Sedih banget kalo ada yang bilang, kamu nggak keren kalo belum ngerokok. Aduh nggak banget..
    Kakaku dulu perokok berat, sejak sakit akhirnya berhenti merokok, alhamdulillah

    BalasHapus
  23. Memag miris ya mb, para perokok ini. Karena memang rokok membuat ketergantungan sehingga susah untuk berhenti. Edukasi mungkin kuncinya untuk memutus mata rantai kebiasaan merokok terutama di kalangan generasi muda.

    BalasHapus
  24. alhamdulillah di lingkup keluarga yang perokok sudah berkurang, dan suamiku bahkan sudah berhenti merokok sejak menikah denganku.

    BalasHapus
  25. Adiksi nikotin emang bahayaaaaa banget!
    Semoga yg nyandu rokok bisa tersadarkan
    bahwa ada kebutuhan pokok yang jauuuuhh lebih penting!

    BalasHapus
  26. Saya kadang dilema soal rokok ini mbak, suami nggak merokok, tapi pekerja di sawah merokok. Para pekerja ini memilih nggak disediakan makan siang, malah pilih disediakan rokok dan kopi saja.

    BalasHapus
  27. Kakekkuu juga meninggal karena kanker tenggorokan akibat rokok. Makanya sedih kalau lihat orang merokok apalagi merokok di sekitar ibu hamil dan anak kecil. Semoga makin banyak yang sadar deh buat stop dari rokok

    BalasHapus
  28. kebutuhan rokok versus kebutuhan pokok..duh nyesek jika mengingat bahwa banyak yang lebih memementingkan beli rokok daripada mencukupi kebutuhan pokok. Sungguh sosialisasi dan edukasi tentang bahaya rokok ini perlu dilakukan semua pihak, bahu-membahu demi terwujudnya pengendalian kebijakan tembakau yang ketat.
    Jadi ingat waktu bulan puasa lalu,bayi anak ART tetangga sebelah rumahku meninggal. Dia memang bekerja di situ, menginap, ajak bayi sejak lahiran sampai beberapa bulan. Meninggal karena sakit paru-paru, karena di rumah itu ada 4 laki-laki dewasa yang perokok berat. Sedih aku nginget bayi itu karena dulu tiap hari lihat dia di sekitar rumah.

    BalasHapus
  29. Saya juga paling sebal dekat-dekat sama orang yang sedang merokok. Paling bawel plus galak sama temen yang ngerokok asepnya sampe kena hidung saya. Pasti langsung saya usir jauh-jauh. wkwk
    Cara paling efektif untuk memberhentikan kebiasaan merokok ya harus dari dirinya sendiri.

    BalasHapus
  30. Kisah anak tetanggga yangperokok pasif itu seram ya Mbak. Bagus kalau orang tuanya mau menerima penyebabnya. Soalnya ada juga orang yang suka ngeles.

    BalasHapus
  31. Saya jg benci perokok, terlebih liat perokok itu kok kesannya egois ya lebih perhatian dg kebutuhannya sendiri, abai dg orang lain

    Semoga anak cucu saya tak ada yg merokok. Kudu edukasi kayak mbak, yg berhasil hingga adeknya jg gak merokok

    BalasHapus
  32. Di kampung saya pria-pria pekerja di sawah juga menjadi perokok berat, kadang buat memenuhi kebutuhan pokoknya juga dengan gali lubang tutup lubang, tapi buat rokok harus ada. Ah dilema.

    BalasHapus
  33. Sekarang bahkan ada rokok elektronik ya Teh mereka mengira itu tidak berbahaya padahal mah sama saja merusak kesehatan huhu miris

    BalasHapus
  34. Seandainya semua laki laki punya pemikiran yang sama dengan wanita semua demi anak, keluarga pasti mereka akan berpikir ulang untuk merokok dan menghabiskan uang dengan rokok

    BalasHapus
  35. sedih masih banyak sekeliling saya yang merokok huhuhu susah ngasih tau nya, hiks

    BalasHapus
  36. Paling sedih kalau ada yang lebih mementingkan rokok daripada kebutuhan pokok. Apalagi kalau sampai nggak peduli dengan kesehatan keluarga dan orang di sekitarnya demi rokok.

    BalasHapus
  37. Kebijakan terhadap rokok ini terasa ambigu ya mba... cukai terus dinaikkan untuk melarang, namun sebagai candu tentu akan diperjuangkan oleh perokok..... rasanya negara bisa berbuat lebih agar industri ini menjadi semakin terbatas dan secara perlahan para petani tembakau beralih tanaman yang sama mensejahterakannya....

    BalasHapus
  38. almarhum kakekku juga perokok. Di masa tuanya sering batuk-batuk berkepanjangan. Sampai kasihan melihatnya. Di keluarga besar hanya almarhum bapakku yang merokok. Paman -paman dan adik-adik laki-lakinya tidak merokok. Alhamdulilah sehat-sehat semua. Pak suami dan keluarganya juga tidak merokok.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kadang emang miris ya mbak kalau lihat di perkampungan mendingan mereka kelaparan daripada nggak bisa merokok. Melihat satu dua kasusu seperti itu

      Hapus
  39. jujur teh Lina, mamahku kan punya warung sembako di rumah dan beliau udah ga nyediain rokok buat jualan. Ya ini jadi bentuk awareness dari keluarga aku buat para perokok-perokok di luar sana, yang sejujurnya bikin aku kzl bgt teh..

    BalasHapus
  40. ironi kalo lebih mementingkan kebutuan rokok yang dari segi manapun itu bawa dampak buruk tapi gimana juga cukainya mayan sih buat pemasukan. semoga pas pandemi ini pada sadar sehingga ngerokok ga dijadikan kebutuhan

    BalasHapus
  41. Sering heran dengan perilaku perokok yang bahkan saat naik sepeda motor pun ga mau berhenti merokok. Padahal kan bahaya banget ya itu efeknya, api rokoknya bisa meletup dan mengenai orang lain yang berada di belakang motornya. Efek buruk asapnya bagi perokok pasif juga mengkhawatirkan banget.

    BalasHapus
  42. Rasanya udah gak bisa ngomong deh ya kalo udah bahas perokok haha..Di desa tempatku kerja juga gitu..huhuh..bertamu pun suguhannya rokok. Yang nyebelin tuh yang gak liat2 tempat..udah jelas tertulis dilarang merokok..eh cuek aja gitu ngerokok

    BalasHapus
  43. more over the people choice Smoke not good life or good food. for then, good food is smoking to get good mood, So we can do from our self, family and friend to protectif

    BalasHapus
  44. rokok sangat membuat pusing pemerintah, satu sisi pajaknya sangat di perlukan, satu sisi ya berdampak buruk bagi kesehatan. Bahkan di beberapa daserah justru tembakau menjadi ujung tombak penghasilan seseorang. kembali ke kita masing masing dalam menyikapi

    BalasHapus
  45. Satu sisi sumber pendapatan negara tapi sisi lain malah bikin menggerus dana kesehatan ya. Asapnya juga bikin masalahbuat orang lain ya

    BalasHapus
  46. Dewi sedih saat ada orang-orang yang kenal lagi ngerokok. Benar mbak Lina, asap rokok ga hanya membahayakan yg mwrokok tapi juga yang pasif. Baru tersadar juga dari bacaan di atas bahwa tak jarang pula acara-acara di masyarakat seringkali disuguhkan rokok oleh tuan rumah. Hiks.

    BalasHapus
  47. Di Bandung sini, sebelum pandemi kalo ke resto, sering banget sekeluarga makan, ayah-ibu merokok depan anak-anak mereka. Pemandangan umum perempuan merokok di tempat umum. Sopan, rapi, sepertinya well educated. Sedih aja sih...Kapan rantai merokok tersebut diputus yah...

    BalasHapus
  48. Bapak saya juga perokok, Mbak Lina. Bahkan Bapak saya sering bilang, mending tidak makan, daripada tidak merokok hehehe. Padahal orang yang menhisap asa rokok bisa saja terkena penyakit yang sama ya. Makanya bagus sekali usaha Mbak Lina memutuskan mata rantai perokok. dan dimulai dari adik sendiri. Semoga terus menyebar dan menjadi kesadaran pria lainnya untuk tidak merokok.

    BalasHapus
  49. aku perokok kak, namun aku melarang keras bagi yang ingin jadi perokok karena akan berdampak besar ke keluarga yaa aku sih akan berhenti setelah menikah berhenti merokok hehe

    BalasHapus
  50. Kalo ngomongin rokok saya hanya bisa berdoa. Semoga para perokok itu sadar, tanpa harus menunggu mereka mengalami efek dari rokok terlebih dulu.

    BalasHapus
  51. sebenarnya inilah kesempatan perokok untuk berhenti. Kebutuhan pokok tetap harus dipenuhi sementara mencari uang semakin sulit. Biaya yang dikeluarkan tetap tapi pendapatan menurun

    BalasHapus
  52. Dilema memang ya Mbak
    Saya juga berada di tengah orang yang merokok
    Namun selama pandemi mereka jadi sadar

    BalasHapus
  53. Cukup sering baca berita tentang bayi yang meninggal gara-gara asap rokok ayahnya atau anggota keluarga lainnya. Tapi gemesnya, kok banyak yang nggak bisa belajar dari kejadian itu. Tetep aja ngeyel! >.<

    BalasHapus
  54. Selain emg harga murah, rokok jg kaya semacam hiburan pelepas stres gitu sih ya jd candu. Aku yg hidup di lingkungan desa br sadar kalau rata2 bapak2 d sini itu ngerokok, rata2 berhentinya kalau udah sakit. Mau edukasi juga ya sebatas mengingatkan aja

    BalasHapus
  55. Miris juga kalau lihat anak-anak sekarang yang sudah terpapar rokok. Semoga saja harga rokok bisa lebih tinggi lagi, agar rokok gak mudah dibeli oleh generasi muda dan kalanga menengah ke bawah

    BalasHapus
  56. Ayahku tidak merokok. Suamiku tidak merokok. Bersyukur tidak ada asap rokok di rumah. Mudah2an anak-anakku juga tidak pernah mencicip rokok. Bagaimanapun, kebiasaan merokok ini ditularkan dari lingkungan terdekat ,yaitu rumah

    BalasHapus
  57. Merasakan banget mbak, bagaimana hidup di tengah perokok berat. Ayah saya dulunya juga perokok berat. Suusah banget membujuk beliaau untuk berhenti merokok, bahkan sampai sakit infeksi tenggorokan berkali-kali pun masih belum berhenti. Qadarullah sakit terakhir yang cukup parah, akhirnya baru berhenti. Alhamdulillah sekarang sudah sembuh dan kesehatan beliau jauh lebih membaik setelah benar-benar berhenti merokok.

    BalasHapus
  58. Bagi pecandu, rokok mah salah satu daftar lebutuhan pokok yang wajib dipenuhi mbak. Mereka gak nyadar aja kalau asap yang mereka hasilkan malah merugikan orang lain

    BalasHapus

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita