Ketika Cinta Bersemi di Gunung Ciremai


Pendakian Gunung Ciremai
Vegetasi Teratas Hutan Ciremai
    
   Sabtu di bulan Desember 2015 ini, ketika sedang online memegang smartphone dan menyimak berbagai perbincangan di beberapa grup WhatsApp, tiba-tiba ada pesan masuk dari seseorang yang selama ini bersama-sama mengarungi hidup bersama dalam bingkai rumah tangga.


             “Bund, kena musibah,” Tulisnya.
    
             “Kenapa?”

             “Nanti cerita,”
 Ia menghindari menjawab.

  
          “Ayah jatuh dari motor?” Saya langsung menodongnya penasaran.

            “Ditabrak tp gpp, cuman
kayaknya minta rawat inap.” Rawat inap? 

            Gubraksss. Jantung terasa copot. Yang namanya ditabrak bukannya nggak apa-apa tapi pasti kenapa-kenapa dan ada apa-apa. Begitulah dia, di saat kondisi kecelakaan pun selalu tak ingin membuat saya panik dan kerepotan.

            Saya termangu. Mencerna setiap baris dari apa yang ditulisnya. Air mata mulai merembes lalu tergugu sambil terduduk di lantai. Inikah musibah ataukah ujian yang akan rumah tangga kami jalani?

            Perlahan seperti ada yang terlepas dari raga tatkala seseorang yang kita cintai dan kita sayangi sedang berjuang melawan rasa nyeri. Perlahan itu pula kisah lama mulai berlompatan, berloncatan dalam ingatan bak kembang api di suatu perayaan. Kenangan saat pertama kali mengenalnya di suatu waktu dulu.


 ***

Maret 2004. Terminal Lebak Bulus, Jakarta. Sepertinya ini adalah awal pertemuan di dunia nyata antara saya dan seseorang yang kini telah hampir 9 tahun mengarungi bahtera hidup bersama.


Terminal Lebak Bulus

“Kenalkan ini Ical!” Kata  ketua rombongan, orang yang bertanggung jawab terhadap event pendakian bersama Gunung Ciremai yang akan kami jalani hari itu. Lantas seseorang yang diperkenalkan itu mendekat. Tangannya terulur seiring senyum ramah tersungging di bibirnya. Saat sekilas menatapnya, ada segores tanda dalam hati entah itu apa. Namun rasanya seperti menyimpan kepompong yang sewaktu-waktu akan melepaskan ribuan kupu-kupu ke udara. Saya menyambut uluran tangannya. Dalam hati bertanya-tanya, apakah dia? Entahlah. Hanya waktu yang akan menjawabnya.

Belasan ransel besar tersusun rapi berdiri dalam mobil pick up yang kami carter. Saat itu kami dalam perjalanan bersama-sama menuju Desa Apuy di Kabupaten Majalengka setelah sebelumnya menaiki bis antar kota antar provinsi. Desa Apuy adalah desa yang akan menjadi pintu masuk  kami menuju jalur pendakian Gunung Ciremai. Gunung dengan ketinggian 3.078 mdpl ini merupakan gunung tertinggi di Provinsi Jawa Barat.

Pemandangan Menuju Desa Apuy Majalengka

Pendakian Gunung Ciremai via Jalur Apuy
Di Desa Apuy

Desa Apuy saat itu mulai ramai dikunjungi para pendaki karena dijadikan jalur alternatif pintu masuk menuju Gunung Ciremai. Sebelumnya, jalur yang biasa dgunakan yakni melalui jalur Linggarjati dan Palutungan di Kabupaten Kuningan. Jalur Linggarjati terkenal sebagai jalur yang sulit karena terlalu panjang dan terjal. Sedangkan jalur Palutungan belum terlalu populer.

Berangkat dari Desa Apuy (1204 mdpl) para pendaki diuntungkan dengan titik daki dari ketinggian lebih dari seribu meter. Jalur dari Desa Apuy ke Pos 1 (Blok Arban 1.614 mdpl) pun masih berupa jalan lebar berbatu yang bisa dilalui oleh kendaraan roda empat. Ini berarti total ketinggian yang didaki via jalur Apuy dari Pos 1 hingga ke puncak Ciremai sebenarnya hanyalah 1.464 meter saja.

Tiba di Desa Apuy pun para pendaki dapat berwisata terlebih dahulu ke air terjun Muara Jaya yang tidak begitu jauh. Hanya berjalan ke bawah desa kurang lebih 300 meter. Air Terjun Muara Jaya ini bertingkat-tingkat dengan ketinggian total sekitar 73 meter.

Saat itu saya bersama 19 rekan lainnya yang tergabung dalam  grup mailing list (milis) High Camp di Yahoogroups memulai pendakian ke Gunung Ciremai dari Pos 1 Blok Arban. Dan dari sinilah kisah pendakian gunung yang penuh romansa bermula.
 
Pendakian Ciremai via Jalur Apuy
Tim Pendakian High Camp ke Gunung Ciremai pada Maret 2004

***
           “Sekarang ayah dimana?” Huruf demi huruf saya ketik dengan teramat lambat. Dalam dada gemuruh rasa khawatir yang tidak menentu. Namun setidaknya ketakutan yang paling ditakuti telah sirna tatkala kecelakaan yang diceritakannya masih dapat membuatnya mengirim kabar.

             “Nanti ke Rumah Sakit Otorita Batam saja” Ia tidak menjawab dan berusaha mengalihkan pertanyaan.

            “Sekarang ayah dimana?” Saya mengulang pertanyaan sekali lagi.

            “Bunda jangan sedih”

             “Gimana nggak sedih Yah itu kan kecelakaan” Air mata banjir sudah. Saya semakin terisak membayangkan ia kini sedang berdarah-darah di suatu tempat. Entah di pinggir jalan, mungkin di rumah sakit atau di kantor polisi?

      
***

Saya mendapatinya berjalan pelan di antara jalur menanjak antara Pos 1 dan Pos 2. Berjalan beriringan susul-menyusul. Tangannya memegang tasbih kecil seperti sedang berdzikir mengeja Asma-Nya satu persatu. Sebersit kekaguman mulai menghinggapi. Mendadak malu pada diri sendiri yang hanya terpukau mengamati vegetasi gunung sambil bernyanyi dalam hati lagu semasa kecil dulu, naik-naik ke puncak gunung. 

Pendakian Ciremai via Jalur Apuy
Pos berapa ya? Nggak jelas dan sudah lupa :D

Pos demi pos terlewati. Goa Walet pun telah jauh di belakang. Semakin lama kami semakin mendekati ketinggian puncak. Saya dan dia secara tidak disengaja selalu bersama. Mungkin karena ritme langkah kaki yang sama atau memang ada ikatan lain yang mengikat batin tanpa kasat mata. Begitu pun saat tiba di area puncak gunung, saat berkeliling kawah, dan saat memasang tenda, kebersamaan kami makin terlihat akrab. Entah merasakan saling ketertarikan atau tidak namun jauh di lubuk hati ada perasaan aneh yang menelusup. Semua membuat tanda tanya semakin membesar.

Kawah Gunung Ciremai
Kawah Gunung Ciremai dari Puncak Syarif

Saya di antara Ical, Hanif dan Bang Hendri

Ketika turun gunung melalui jalur Linggarjati yang panjang dan berliku, saya berada di depan rombongan pendaki. Sengaja mempercepat langkah untuk menikmati kesendirian sambil menikmati kesegaran hembusan udara gunung yang mengalir melalui hidung dan paru-paru. Mengamati pepohonan, mengamati lumut dan dedaunan. Atau terkantuk-kantuk karena kacapekan. Menikmati kesendirian di hutan belantara selalu membuat diri begitu rendah dibanding keagungan pencipta-Nya. 

Saya tiba di Pos Sangga Buana. Beristirahat sambil terududuk di sebuah batu yang cukup besar. Namun saat dalam kesendirian itu saya dikagetkan oleh kehadirannya. Sepertinya ia sekuat tenaga berusaha berlari mengejar saya. Hujan mulai mengguyur. Saya dan dia basah kuyup meskipun raincoat dan ponco telah kami kenakan.

Dalam lapar dan gigil yang cukup mengguncang tubuh, ia menawarkan sebutir apel hijau sebagai pengganjal perut. Mengamati sikap dan perhatiannya, hati mulai merasa curiga, adakah sesuatu yang tak biasa dari semua itu? Ah, saya perempuan. Rasa dan naluri selalu bisa menangkap gelagat seperti ini.

Terlalu lama menunggu tim pendakian berkumpul di pos tersebut rasanya tidak mungkin. Kalau tidak bergerak tubuh kami akan semakin kaku karena dingin. Dan di ketinggian seperti itu tentu rawan bagi kami terkena hipotermia. Saya pun melangkahkan kaki mengikuti jalur turun ke pos Batu Lingga diikuti oleh dia.

Entah di pos mana, kami berhenti dan menunggu tim berkumpul semua. Tidak mungkin meninggalkan mereka dalam hari yang mulai gelap. Kami pun memutuskan untuk menunggu, beristirahat dan membuatkan teh hangat untuk mereka yang kemalaman. Setelah genap dua puluh orang kami memutuskan menginap satu malam di pos tersebut. 

Melalui jalur Linggarjati ini meskipun dalam kondisi turun gunung (yang umumnya dilakukan dengan cepat), tim pendakian kami kepayahan dengan jalur yang licin karena hujan. Belum lagi beberapa anggota tim yang terpeleset, cedera, atau terluka.  

Vegetasi Puncak Ciremai
Vegetasi Cantigi Gunung Ciremai
***

          "Ku gpp, cuma ada tulang yang di rontgen, yang lain lecet-lecet saja" Tulisnya dalam pesan di WA. Saya terhenyak. Di rontgen berarti ada tulang yang dicurigai patah. Di layar atas smartphone terlihat ia sedang online dan writing.

            "Di situ sama siapa?"
       
            "Orang kantor, ini lagi cari rujukan. Kukabari ya, ku gpp,"

            "Cuma mungkin operasi tulang belikat saja" Saya menyimak. Ia lantas mengetik lagi.     

            "Sudah di rontgen, memang patah sebelah kiri"   Ya Allah. saya kembali bercucuran air mata. Namun kali ini segera beranjak dan rapi-rapi untuk segera menyusulnya  


***

Keesokan harinya kami turun ke Linggarjati. Dari Linggarjati rombongan kami menuju Stasiun Kereta Api Cirebon untuk selanjutnya menuju ke Jakarta. Saya resah, ada sesuatu yang terus mengganjal dalam ingatan yakni kata "perpisahan." Akankah kelak kami dipertemukan lagi? Sementara saya harus terbang kembali ke Batam.  

Dia menatap ragu. Seperti ada sebaris kata yang hendak diucapkannya. Saya sekilas mencuri pandang. Wajahnya layu seperti ada harap yang tak terungkap. Selamat jalan, hati-hati di jalan. Hanya itu yang sempat terekam dalam ingatan. Dan kami pun berpisah untuk sekian waktu yang tak kan diketahui lagi. Untuk terakhir kali, saya menatapnya melangkah jauh di balik stasiun kereta api.


***

          Suara deru mesin mobil terhenti di halaman rumah. saya mengintip dari balik gorden. Pintu mobil terbuka. Dia terlihat lemah dan lelah dengan tubuh tersandar ke jok mobil. Kemejanya telah dilepas. Tangan kirinya terikat arm sling yang menyangganya agar tidak terlalu banyak bergerak.

          Ya Allah semoga dia baik-baik saja. Gumam saya dalam hati lantas dengan terburu-buru mempersiapkan pakaian ganti untuknya. Ketukan pintu berkali-kali terdengar. Saya berteriak meminta untuk menunggu. Entah  apa saja yang saya masukan ke dalam tas karena terburu-buru lalu secepat kilat keluar dan mengunci pintu rumah.

       Pandangan saya tak henti-henti menatapnya. Ingin rasanya memeluk dia. Memintanya untuk tetap tabah atas semua musibah ini. Allah sungguh Maha Baik mengembalikan ia yang terkena kecelakaan tertabrak bis di jalan raya hanya dengan sedikit patah tulang bahu kiri. Sekilas ngeri membayang kecelakaan itu mungkin saja akan merenggut nyawanya. Namun sungguh saya bersyukur kepada-Nya, Ia masih memberi kesempatan kepada kami untuk tetap bahu-membahu meneruskan kebersamaan ini.

          Saya menghampirinya. Ia tersenyum lemah. Senyum dari wajah yang sama saat kali pertama bertemu di pendakian Ciremai dulu. Senyum ramah yang menyejukkan hati. Yang menjadi obat dan pelipur resah selama ini.

          "Aku nggak apa-apa kok Bund." katanya menenangkan. Hati yang selalu waswas siang malam memikirkan keselamatannya semakin menjerit lirih. Ya Allah lindungi  ia selalu dalam setiap perjalanan. 

        Mobil yang kami kendarai meluncur di jalan raya. Tujuan pertama kami saat itu adalah bertemu si penabrak yang kabarnya mau bertanggung jawab. Dan hingga saat itu semua orang dalam mobil masih kebingungan apakah membawanya ke rumah sakit atau mungkin juga ke alternatif. Namun tentu saja saya akan mengusahakan agar ia segera tertangani dengan cepat dan tepat. 

7 komentar :

  1. Tiap kali mendengar gunung ciremay mengapa yang ada di otak saya itu Mak Lampir ya?.
    Hadeeh, ini efek drama radio yang saya dengarkan saat masa sekolah.
    Ternyata buat mba, ada kenangan dg gunung itu.

    BalasHapus
  2. Wow... Nulisnya flash back ke masa-masa romansa terasa bernuansa

    BalasHapus
  3. Penasaran sama lanjutannya ceritanya. Kayak baca potongan novel aja nih. Semoga suami cepat sembuh ya makk

    BalasHapus
  4. Suka dengan tulisan perjalanannya mbak Lina. Kayak baca novel

    BalasHapus
  5. ternyata sama-sama ska mendaki gunung ya mbak. Linggar jatinya aku pernah ke sana tapi belum pernah mendaki gunungnya

    BalasHapus
  6. Kisah cintanya romantis, Mbak.... Semoga langgeng, selalu sakinah mawaddah wa rahmah, yaa.. :)

    BalasHapus
  7. Kuterharuuuuu huhuuuuuu :((

    BalasHapus

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita