Kenangan tentang Nenek yang Melekat dalam Aroma Kopi

Kenangan terhadap seseorang kerap kali terhubung dan muncul begitu saja dalam ingatan saat kita mendengar, melihat, mencium, atau merasakan benda-benda yang pernah menjadi bagian dalam kisah kehidupan seseorang tadi. Begitu pula yang terjadi denganku.

Saat menyesap secangkir kopi,  maka aromanya selalu membawaku ke masa lalu. Pada masa kecil yang begitu seru dan penuh warna. Dan kenangan yang melekat yang paling kuingat dari secangkir kopi adalah saat memetik biji kopi hingga mengolahnya menjadi kopi bubuk bersama nenek.

Kenangan sewaktu kami memetik buah kopi di kebun belakang rumahnya, mengumpulkan dalam satu wadah lalu menjemurnya. Mengupas dan menyangrai biji-biji kopi yang telah kering kemudian menumbuk dan menyaringnya. Hingga biji-biji itu menjadi kopi bubuk yang beraroma khas.

Nenek menyimpan kopi yang telah menjadi serbuk dalam toples. Ketika ada tamu atau setelah mengajarkan kami mengaji Al Qur’an setiap ba’da maghrib, maka ia akan menghidangkan kopi buatannya dengan penuh suka cita. Kopi yang disajikan disertai penganan kecil berupa singkong rebus, ubi manis rebus, atau labuh siam rebus. “sok ngopi heula” katanya. Ngopi dalam arti minum kopi dan menikmati penganan buatannya. Ngopi adalah aktifitas yang kami gemari sambil  mengobrol atau mendengar cerita nenek tentang kisah dan sejarah masa lampau.

Dan kata “ngopi’ hingga kini menjadi kata wajib bagi setiap aktifitas menikmati penganan. Bahkan saat kopi tidak hadir bersama penganan-penganan itu tetap saja aktifitas ini kami sebut ngopi. Begitulah keterikatan orang sunda terhadap kopi.

***
Mentari baru sepenggalan naik. Burung-burung pipit riang bercicit. Melompat dari satu dahan ke dahan lainnya. Dahan-dahan pohon cengkeh tua yang terletak di samping rumah nenek. Pohon yang menjulang tinggi, berdahan besar dan berdaun rindang. Pohon tempat aku dan sepupu-sepupuku bermain sekaligus belajar.

Aku dan nenek melewati pohon cengkeh tua menuju ke kebun di belakang rumahnya. Ya, di pagi yang cerah itu aku diajak nenek untuk membantu pekerjaannya di kebun. Walau sebetulnya aku lebih banyak bermain-main daripada membantunya. Nenek tak pernah marah.

Ah ya, selalu saja menyenangkan menghabiskan waktu bermain-main di kebun. Walau sekedar mencabuti rumput teki yang tumbuh liar di antara sulur-sulur ubi rambat,  namun kunjungan ke kebun senantiasa menjadi kisah yang seru untuk diceritakan keesokan harinya di sekolah. Terlebih kami selalu saja menemukan hal-hal kecil yang mengejutkan yang kerap membuat kami gembira saat kembali ke rumah. Misalnya saja nenek tiba-tiba menemukan buah nangka yang matang di pohon, atau kami mencabut singkong yang ternyata besarnya hingga selebar paha orang dewasa, atau ketika membersihkan rumput teki dengan cangkul kecil tiba-tiba menemukan bengkoang yang menyembul ke permukaan tanah. Sungguh kejutan-kejutan yang menyenangkan.

Begitulah aku mengingat dan terkenang pada masa-masa kecil bersama nenek. Beliaulah yang kerap menjadi tempat mengadu saat kami dimarahi oleh bapak dan ibu. Rumahnya menjadi tempat yang aman untuk bersembunyi. Bujukannya selalu dapat dituruti. Cerita dan dongeng-dongengnya sering membuat imajinasiku melayang ke suatu tempat. Ke lembah-lembah, ke puncak gunung dan ke lautan lepas. Beliau yang sebenarnya mempunyai peran besar mempengaruhi minat terbesarku kepada petualangan dan alam. Salah satunya keinginan kecil saya dulu adalah mengunjungi Gunung Cikuray dan Gunung Papandayan.

Nenek kini telah tiada, beliau  meninggal beberapa minggu yang lalu karena sakit. Namun walaupun sudah tidak ada, begitu banyak hal yang kerap mengingatkan dan menghubungkanku akan kenangan bersamanya.

Saat melihat rumput teki, ingatanku selalu terikat dengan kebun nenek. Saat melihat buah nangka maka yang terbayang adalah saat nenek membagi-bagikan nangka kepada semua cucu-cucunya. Dan aku kerap mendapat bagian yang lebih besar. Saat meminum jus sirsak yang kuingat hanyalah sirsak nenek yang lembut dan manis.

Walaupun berkabung dan bersedih, betapa aku bangga dan bahagia mempunyai nenek yang pintar, cerdas, dan penuh kasih sayang. Semoga Allah melapangkan kubur nenek dan menerima segala amal baiknya. Sungguh kami para cucu-cucunya adalah saksi akan segala kebaikan yang begitu melimpah darinya.

12 komentar :

  1. Kenangan yang indah sekali, metikin biji kopi sama nenek :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul Mbak, hingga terkenang sampai sekarang

      Hapus
  2. Nostalgia ya, Mbak.. :D

    BalasHapus
  3. sama Mbak, kalau ingat Ayah dan keluarga nenek jadi ingat Kopi Bubuk .... Aromanya itu lo bikin suasana tenang. Meski aku nggak ikutan minum kopi. soalnya jantung berdebar debar

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau saya karena dari kecil sudah biasa minum kopi jadi jantungnya nggak berdebar-debar lagi mbak

      Hapus
  4. Aku selalu suka wangi aroma kopi yang baru disangrai, dan lebih suka lagi meminumnya.. hmmm.... kenangan masa kecil itu emang paling nyenengin ya, teh :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya sama Dee, saya juga suka aroma kopi yang baru disangrai, wanginya nggak hilang-hilang

      Hapus
  5. waaahhh para penikmat kopi berkumpul di sini yaaa... pasti pas nulis ini jadi kangen ya mb lina...

    BalasHapus
  6. Samaa Mbak, mendiang nenekku dulu juga suka mengolah kopi sendiri. tapi kopinya beli di pasar :D. memang bedaa rasanya, lebih nikmat. yang paling aku ingat, dulu kalau goreng kopi itu sesekali dikasih minyak tanah biji kopinya. Nenek Mbak apa juga gitu?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Enggak, beliau nggak pakai minyak tanah. Disangrai begitu aja di penggorengan

      Hapus

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita