Pos 2 - Pos 4 Jalur Pancasila, Gunung Tambora
Sebelum tidur kami berenam sepakat akan bangun jam satu tengah
malam. Apalah daya rasa lelah dan capek membuat kami terlelap hingga jam
setengah dua. Katanya udah pada pasang alarm tapi entahlah nggak bunyi-bunyi.
Alarmnya kecapekan barangkali. Ikut bobo manis bersama kami.
Bangun jam setengah dua itu pun karena tiba-tiba saya
terbangun dan menanyakan jam berapa pada Marita. Gue gitu loh bangunnya emang tepat
waktu. #Plaaak. Sombong banget.
"Bang Miiing, jadi nggak kita berangkaat?" Tanya
saya pada Bang Ming yang nyempil tidur di teras tenda orang lain. Untung yang
punya tenda sedang muncak ke atas sana. Jadi Bang Ming nggak perlu khawatir
terinjak-injak penghuni tenda :D
Bang Ming dan dapur daruratnya di Pos 2 :D Foto diambil keesokan harinya |
“Iyaaaa...” Sahut Bang Ming
samar di balik kegelapan. Dari arahnya mulai terdengar suara
prang...pring...prung... nesting, kompor, sendok, dan kawan-kawannya mulai
bekerja. Bang Ming sigap langsung memasak. Ah ya, Bang Ming ini contoh pendaki
teladan. Lihatlah kami masih sibuk dengan iler dan belek, dia sudah siap
menghidangkan teh dan es te em je.
Sementara itu, rekan-rekan yang lain satu per satu mulai
terbangun. Untung saja suasana gelap. Kalau terang, pasti kelihatan tuh belek
dan iler masih menempel di mata dan pipi masing-masing. Haha. Karena itulah
bangun tidur saya langsung sibuk kucek-kucek mata, usap-usap mulut an pipi pakai ujung kerudung. Iiih...jooroook.
Setelah menghangatkan perut dengan minuman buatan Bang Ming,
kami mulai mengemas barang-barang yang akan dibawa ke puncak. Hanya membawa
yang penting-penting saja ke dalam daypack. Obat-obatan, air minum, mie instan, kompor dan nesting, coklat, snack, head lamp,
mukena, dan rain coat.
Pukul 2 kurang beberapa menit, kami berenam telah beriringan
meninggalkan Pos 2. Keril, tenda yang tidak sempat dipakai, matrass, dan barang
lainnya kami tinggal di sana. Pak Midun, porter kami sengaja tidak ikut ke
atas. Ia ditugaskan untuk menjaga barang-barang tersebut.
Kurang dari 2,5 jam perjalanan dari Pos 2, kami sudah tiba di Pos
3. Puluhan tenda memenuhi pemandangan sepanjang jalur Pos 3. Karena Pos ini
sangat penuh sesak, beberapa orang tertidur di luar, hanya mengenakan sleeping bag dan sarung saja. Duh kasihan banget anak-anak orang ini. Jauh-jauh naik gunung tidurnya gelimpangan di luar begitu saja. Laah, kan Eloe juga sama begitu, nggak kebagian diriin tenda? Oh iya yah. *Sedikit amnesia.
Saya, Yuni, Marita dan Kiki langsung ambruk tertidur di tepi
batang pohon yang melintang di tengah
jalur. Untung nggak ada yang lewat lagi. 15 menit lumayan dapat memejamkan mata. Tiba-tiba Kang Asep membangunkan
dan menyuruh kami pindah menuju sebuah tenda. Di sana Bang Ming terlihat sedang
mengobrol dengan seorang pendaki. Galih asal Makasar. Kata Bang Ming Galih mengaku lulusan PeSantRen. Pengangguran Santai tapi Keren. Jiaaah. Dan lagi katanya masih jomblo. Nah Rita, cocok nih! Saya langsung mencandai Marita.
Galih menjamu kami dengan
nutrijel buatannya yang masih hangat. Alhamdulillah nikmat di perut yang keroncongan. Setelah itu di dekat tendanya, kami menumpang sholat
subuh, wudhunya bertayamum karena tidak ada sumber air bersih.
Jam 5. 25 kami mulai berangkat menuju pos 4. Remang subuh
mulai membayang. Jalur masih tetap sama seperti sebelumnya. Di kanan kiri hanya
pepohonan tinggi dan semak belukar. Rapat, rimbun, dengan canopy yang tinggi
menghalangi pemandangan langit.
Jalur yang terlewati sesekali diselingi batang-batang tumbang yang menghalangi jalur pendakian.
Kadang melompat, kadang kami merayap di bawahnya.
Di beberapa tempat terdapat tumbuhan jelatang. Namun untung
saja sudah ditebas, tidak terlalu rapat ke jalur pendakian sehingga kami tidak
terkena oleh duri-durinya yang menyebabkan sakit dan panas hingga
berminggu-minggu.
Pos 4. Foto dulu sebelum berangkat |
Sepanjang jalur menuju Pos 4, kami tidak banyak beristirahat
sehingga hanya butuh waktu 1,5 jam saja saat tiba di sebuah dataran yang cukup
luas. Kosong tak berpenghuni. Tak ada tenda, tak ada pendaki satu pun. Pos 4 lengang.
Hanya pepohonan besar dengan daun yang saling bertautan.
Kami beristirahat sejenak. Sarapan seadanya dengan snack dan
cemilan lainnya. Tak lupa mengabadikan momen kebersamaan di Pos 4 sambil
foto-foto sunrise yang muncul dibalik pepohonan.
Tinggal 1 pos lagi
sebelum tiba di bibir kaldera luas, puncak Gunung Tambora. Dan aroma
puncak pun telah membayang-bayang di benak.
Kok aku bacanya deg-degan ya, Mbak.. Ngga biasa ndaki sih.. Hihihi :P
BalasHapusSaya lebih degdegan lagi Beb. Ketemu puncak pujaan hati. Puncak Gunung :D
HapusAahh pengeeeennn.....
BalasHapusAyo Mom Muna, kita daki bareng. Ajak Chila dan Nadya. Kita ke Rinjani yuk!
HapusBaca blog e sampeyan ITU piliranku langsung ke zaman dulu, masa dimana kaki menikmati menjejaki lekuk bumi. :)))
BalasHapusHanya tinggal mengenang kenangan ya Mbak. Ayo daki bareng saya aja. Tunggu saya ke India dulu :D
Hapustampilannya feminin, tapi tangguh euy. Mendaki gunung.... salut. *aku nunggu di kakinya aja deh
BalasHapusBund Donna, aku pengen tampil lebih feminim soalnya berjilbab. Pengen dekat-dekat syar'i gitu. Meskipun daki gunung. Tapi pas menuju puncak nggak pakai rok takut kena tumbuhan jelatang yang berduri. Takut nyangkut-nyangkut.
Hapuswah asik nih....
BalasHapusMakasih :D
Hapus<<<<< bukan anak pendaki banget hks, kena dingin langsung down.
BalasHapustapi mau belajar sih, seru banget kak!!
Iya kalau daki gunung kudu kuat dingin mbak. Rata-rata suhu di bawah 20 derajat. Mendekati puncak di bawah 10 derajat
HapusPingin banget bisa begini Mak :)
BalasHapusSemoga Mak. Saya doakan :)
HapusAsyiknya...dari dulu saya cuma berandai-andai bisa naik gunung. Cuma naik bukit di belakang kampus saya dulu aja udah ngos ngosan...hehe
BalasHapusBelum terbiasa mungkin mbak. Kalau dibiasakan nafas jadi stabil tidak ngos-ngosan lagi.
HapusSeru seruu! masih ada lanjutan ceritanya kan? pengen nyediain waktu ke tambora deh jadinya :D
BalasHapusMasih dong Kak Fahmi. Tapi nanti kalau ke sana pakai jalur Doropeti aja ya. View-nya lebih terbuka tidak rimbun. Cepet nyampe lagi.
HapusMbak Lina walau mendaki tetep pakai gamis ya? saluutt.
BalasHapusIni pakai rok Mas. Cuma pas turun aja setelah tahu kondisi jalur. Pas naik pakai celana panjang, takut tersangkut tumbuhan jelatang. Eh taunya sudah dibabat oleh penduduk sekitar. Mungkin untuk kenyamanan para pendaki.
HapusMbak kapan ke tambora lg ???
HapusMbak. Kapan ke tambora lg ??
HapusBelum tau Fery. Kamu tinggal di Sumbawa ya? Pengen ke sana lagi.Tapi melalui jalur Doropeti lah.
HapusKeren banget mbaaa..sudah banyak gunung yang dirimu daki yaa...
BalasHapusBelum banyak banget sih Mbak. Baru beberapa saja. paling banyak setahun 4 kali. Rata-rata setahun sekali.
Hapusdingin kan? nggak deh kak. saya duduk di bawah aja. nungguin kk pulang bawa foto puncak :D
BalasHapusIya. Eh tapi tergantung ketinggiannya sih. Kalau ketinggian di bawah 3000an masih aman buat orang tropis macam kita :D
HapusLuar biasa Mbak untuk pendakiannya! Ditunggu lanjutnnya..
BalasHapusMakasih sudah bersedia mampir Mas. Kelanjutannya sudah ada di sini: http://www.linasasmita.com/2015/05/pendakian-gunung-tambora-bagian-4.html
Hapus