Saya saat gowes ke Pulau Bintan. Foto: Robbi Hafzan. |
Tahun 2015 saya dan beberapa teman Srikandi Bersepeda di Batam pernah berencana untuk melakukan gowes, touring ke Pulau Bintan. Namun karena 3 orang diantara teman Srikandi Bersepeda itu pulang kampung ke Pulau Jawa, maka rencana ini batal terlaksana. Saya pun harus memendam dalam-dalam keinginan touring tersebut.
Andar, salah seorang dari Srikandi
Bersepeda yang pernah
mewakili Provinsi Kepri touring sejauh 843 km dari
Mamuju Sulawesi Barat hingga ke Makasar Sulawesi Selatan (Tahun 2014), mengatakan bahwa bersepeda jauh itu perlu ditemani laki-laki karena kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti pecah ban, putus
rantai, dan hal tak terduga lainnya, akan ada yang menolong. Sementara kami para wanita, tahu
apalah tentang sepeda dan segala printilannya. Mmmm... betul juga sih.
Makanya hampir 3 tahun terakhir, saya pun belum berani keluar kandang. Bersepeda hanya seputar Batam saja itu pun dengan rute jalan-jalan di sekitar kompleks perumahan. Kadang gemes sendiri kapan bisa kelayapan ke wilayah lain di Kepri seperti Bintan, Anambas, Lingga dan Karimun. Dimana jalan-jalannya sudah sangat bagus dan sepi dari kendaraan bermotor.
Ide bersepeda keliling Bintan kembali muncul saat teman-teman grup whatsapp GenPI Bintan (Generasi Pesona Indonesia Bintan) mengajak saya untuk berkemah di Pemancingan Poyotomo, Sekuning, Bintan. Kebetulan Januari 2017 lalu saya pernah ke tempat tersebut, namun saat itu tempat ini belum selesai seratus persen. Selain itu, semangat saya semakin on fire setelah melihat video Pemancingan Poyotomo yang diunggah teman Blogger Batam, Danan Wahyu dan Rina Sandra di Youtube. Dari video mereka, jelas terlihat kalau lokasi pemancingan ini semakin cantik dan instagramable banget.
Saya dan para Srikandi Bersepeda Kepri saat latihan |
Makanya hampir 3 tahun terakhir, saya pun belum berani keluar kandang. Bersepeda hanya seputar Batam saja itu pun dengan rute jalan-jalan di sekitar kompleks perumahan. Kadang gemes sendiri kapan bisa kelayapan ke wilayah lain di Kepri seperti Bintan, Anambas, Lingga dan Karimun. Dimana jalan-jalannya sudah sangat bagus dan sepi dari kendaraan bermotor.
Ide bersepeda keliling Bintan kembali muncul saat teman-teman grup whatsapp GenPI Bintan (Generasi Pesona Indonesia Bintan) mengajak saya untuk berkemah di Pemancingan Poyotomo, Sekuning, Bintan. Kebetulan Januari 2017 lalu saya pernah ke tempat tersebut, namun saat itu tempat ini belum selesai seratus persen. Selain itu, semangat saya semakin on fire setelah melihat video Pemancingan Poyotomo yang diunggah teman Blogger Batam, Danan Wahyu dan Rina Sandra di Youtube. Dari video mereka, jelas terlihat kalau lokasi pemancingan ini semakin cantik dan instagramable banget.
Perjalanan
Menuju Bintan
Sabtu 25 November 2017 saya berangkat gowes menuju Pulau Bintan. Rencana awal sebenarnya akan berangkat
sendiri, dan siangnya, sepulang suami bekerja, dia akan menyusul
bersama Chila, anak semata wayang kami. Namun ternyata pagi itu rencana berubah. Ayah Chila tidak
jadi berangkat kerja. Pagi itu ia berubah fikiran dan memutuskan untuk mengambil cuti satu hari. Horeee Alhamdulillah. Saya tidak akan kesepian karena Chila dan ayahnya akan menemani dan
memantau saya sepanjang perjalanan.
Dari rumah, saya memesan gocar ke Pelabuhan Telaga Punggur. Pelabuhan ini merupakan salah satu urat nadi yang menghubungkan Batam dengan kota, kabupaten, dan pulau-pulau lainnya di wilayah Provinsi Kepri. Saya sempat waswas apakah sepeda bisa masuk mobil gocar ini atau tidak. Maka saat driver gocar menelpon, saya sampaikan akan membawa serta sepeda. Meskipun sempat ragu, ia akhirnya tetap datang. Dan setelah diutak-atik dengan menidurkan jok-jok mobil di bagian belakang, sepeda pun bisa masuk mobil. Driver gocar kali ini lain daripada yang biasanya, karena ia seorang ibu-ibu.
Sekitar pukul 9.10 pagi, kami berangkat menuju Pelabuhan Telaga Punggur. Saya dan Chila menaiki gocar, sementara suami menaiki sepeda motor. Tiba di Pelabuhan Telaga Punggur, kapal roro (roll in roll out) yang akan dinaiki baru saja berangkat. Ini berarti kami harus menunggu sekitar 1 jam ke depan untuk keberangkatan kapal roro berikutnya. Sayang waktu sih sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi. Memang saya yang terlambat datang.
Dari rumah, saya memesan gocar ke Pelabuhan Telaga Punggur. Pelabuhan ini merupakan salah satu urat nadi yang menghubungkan Batam dengan kota, kabupaten, dan pulau-pulau lainnya di wilayah Provinsi Kepri. Saya sempat waswas apakah sepeda bisa masuk mobil gocar ini atau tidak. Maka saat driver gocar menelpon, saya sampaikan akan membawa serta sepeda. Meskipun sempat ragu, ia akhirnya tetap datang. Dan setelah diutak-atik dengan menidurkan jok-jok mobil di bagian belakang, sepeda pun bisa masuk mobil. Driver gocar kali ini lain daripada yang biasanya, karena ia seorang ibu-ibu.
Sekitar pukul 9.10 pagi, kami berangkat menuju Pelabuhan Telaga Punggur. Saya dan Chila menaiki gocar, sementara suami menaiki sepeda motor. Tiba di Pelabuhan Telaga Punggur, kapal roro (roll in roll out) yang akan dinaiki baru saja berangkat. Ini berarti kami harus menunggu sekitar 1 jam ke depan untuk keberangkatan kapal roro berikutnya. Sayang waktu sih sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi. Memang saya yang terlambat datang.
Suasana Pelabuhan Telaga Punggur |
Penyebrangan Batam (Telaga Punggur) - Bintan (Pelabuhan Tanjung Uban)
Penyebrangan dari Telaga Punggur ke
Tanjung Uban Bintan, sebenarnya bisa ditempuh dengan waktu 10 menit saja dengan
menaiki speed boat. Sedangkan jika naik kapal roro waktu tempuh mencapai waktu 1 jam. Mungkin karena kapalnya besar dan mengangkut beragam jenis kendaraan, atau memang standar kecepatan roro memang segitu. Entahlah.
Biaya penyebrangan naik kapal roro untuk anak-anak Rp 14.000an, orang dewasa sebesar Rp 19.700 Sementara itu untuk kedaraan roda dua Rp 30.000 dan kendaraan roda empat Rp. 250.000. Saat itu, Alhamdulillah sepeda saya tidak dikenai biaya menyebrang alias gratis. Saya kira memang tidak ada biaya, namun setelah googling, ternyata sepeda termasuk kendaraan golongan I. Dan menurut Rina Sandra, biayanya sebesar 16.000 rupiah. Waduh saya lupa bertanya kepada petugas, mungkin saja dia memang tidak sadar kalau saya membawa sepeda.
Biaya penyebrangan naik kapal roro untuk anak-anak Rp 14.000an, orang dewasa sebesar Rp 19.700 Sementara itu untuk kedaraan roda dua Rp 30.000 dan kendaraan roda empat Rp. 250.000. Saat itu, Alhamdulillah sepeda saya tidak dikenai biaya menyebrang alias gratis. Saya kira memang tidak ada biaya, namun setelah googling, ternyata sepeda termasuk kendaraan golongan I. Dan menurut Rina Sandra, biayanya sebesar 16.000 rupiah. Waduh saya lupa bertanya kepada petugas, mungkin saja dia memang tidak sadar kalau saya membawa sepeda.
Pukul 10.45 WIB kapal roro
yang kami tumpangi mulai berlayar. Suasana di kapal tidak terlalu penuh. Hanya
terisi beberapa orang saja. Setelah meletakkan barang-barang, saya dan Chila
memilih untuk naik ke dek 3 melihat-lihat suasana di luar sana. Dari tengah
laut, bukit-bukit di Pulau Batam tampang telanjang. Menyisakan warna tanah yang
memerah.
Pukul 11.40 kapal roro merapat
ke Pelabuhan Tanjung Uban Bintan. Chila bersama ayahnya langsung
turun dan melaju menggunakan sepeda motor. Saya lantas menyusul mereka. Dalam hati sedikit gondok kok main tinggal aja sih. Ternyata Ayah Chila sudah menunggu di persimpangan jalan. Ibarat marshal dalam lomba
lari, ia mengarahkan saya mana jalan yang benar untuk dilalui. menunjukkan kode untuk belok kiri atau kanan di setiap persimpangan dan lampu merah. Ya ampuun padahal tadi udah suudzon kepadanya.
Melewati Kota Tanjung Uban Bintan |
Di lampu merah Tanjung Uban,
tiba-tiba ada seseorang berteriak "Are you OK?" saya kaget dan membalas
dengan berteriak "Yes, I am OK" sambil melirik ke sumber suara.
Wahaha...ternyata dia Robbi Hafzan, fotografer yang juga teman Blogger Kepri yang
memang tinggal di Tanjung Uban. Saya pun berhenti untuk bertegur sapa
dengannya. Kebetulan Robbi meminta saya untuk difoto. Duh berasa selebritis
dimintai foto oleh fotografer kece hihi. Setelah bertegur sapa dan berbasa-basi
mengobrol, saya pun melanjutkan perjalanan. Menyusul Chila dan ayahnya yang sudah menghilang sejak tadi.
Baru beranjak 3 km, ayah Chila sudah mengajak kami untuk makan siang di sebuah restoran tepi jalan. Namanya RM Sederhana. Karena GPS menyala, google langsung menawarkan untuk membuat review dan foto-foto rumah makan ini.
Baru beranjak 3 km, ayah Chila sudah mengajak kami untuk makan siang di sebuah restoran tepi jalan. Namanya RM Sederhana. Karena GPS menyala, google langsung menawarkan untuk membuat review dan foto-foto rumah makan ini.
Selepas makan siang, saya pun menumpang sholat zuhur yang dijamak dengan ashar. Perjalanan saya masih sekitar 35 km lagi dan jika kecepatan bersepeda saya rata-rata hanya 11 km per jam maka diperlukan waktu 3,5 jam untuk sampai di Pemancingan Poyotomo.
Sekitar 6 kilometer dari Tanjung Uban, saya tiba di Objek wisata yang sedang hits, yakni Gurun Pasir di kawasan Busung Bintan. Dari jauh tampak Chila dan ayahnya sudah berhenti di tepi warung. Kami menyempatkan mampir ke gurun pasir untuk berfoto-foto.
Saat melewati penjaga, ia mempersilahkan saya langsung masuk. Tidak perlu bayar. Mungkin karena dilihatnya kami hanya akan mampir sebentar saja.
Sebenarnya saya sangat suka berada di gurun pasir ini. Ingin meng-explore setiap sudut dan sisi gurun mini yang eksotis ini. Sayang Chila sudah ngambek dan ingin segera melanjutkan perjalanan.
Gurun Pasir Busung Bintan. |
Setelah gurun pasir, titik perjalanan yang dilalui adalah
jembatan. Jika dilihat dari peta di google map, Pemancingan
Poyotomo dicapai setelah saya melintasi 3 jembatan. Karena Chila
sudah tidak sabar lagi saya menyarankan agar ia dan ayahnya duluan saja.
Sayangnya setelah mereka menjauh, dan saya melintasi jembatan ke-3, hujan turun sangat deras. Terpaksa mencari tempat berteduh di salah satu rumah penduduk di tepi jalan. Sekitar setengah jam berlalu menunggu hujan reda, lalu saya pun melanjutkan perjalanan kembali.
Di peta, perjalanan saya seharusnya melewati Hotel De Bintan Villa terlebih dahulu. Baru berbelok ke sebuah persimpangan. Namun karena ragu, saya mundur balik arah dan menempuh jalan tanah merah. Jalan ini sangat sepi dan di kanan kiri hanya hutan. Tidak ada orang atau kendaraan yang lewat satu pun. Sempat waswas namun saya meyakinkan diri bahwa jalan ini akan tetap mengarah ke Pemancingan.
Hampir setengah jam melintasi jalan tanah. Hening, sepi, sendirian, hanya suara binatang hutan yang terdengar. Duh jadi sedikit ketakutan. Apalagi ada 2 ekor anjing yang melihat terus ke arah saya. Degdegan takut dikejar anjing. Sebentar - sebentar mengecek google map. Duh kok rasanya masih jauh terus ya. Setelah hampir 3 km perjalanan gowes melalui jalan tanah merah, akhirnya saya menemukan jalan aspal. Di ujung aspal terdapat sebuah vihara yang penuh dengan nuansa merah. Alhamdulillah leganya.
Di sebuah pertigaan dimana terdapat tugu durian, saya bertanya kepada penduduk sekitar mengenai arah ke Pemancingan Poyotomo. Mereka bilang sudah dekat. Yeay, rasanya ingin melompat saja dari sepeda saking gembiranya. Saya pun mengabari suami via whatsapp. Dia mengirimkan foto Pemancingan Poyotomo sore itu yang sangat indah. Huhu... masih 3 kilometer lagi. Saya pun menguatkan tekad walau ternyata jalan yang ditempuh mulai menanjak. Pyuuh. Capek deh.
Tepat pukul 17.30 saya tiba di Pemancingan Poyotomo. Di pintu gerbang, petugas keamanan dengan ramah menyambut dan mempersilahkan masuk. Biaya masuk ke pemancingan ini hanya 10.000 rupiah saja. Sudah bisa puas keliling taman dan foto-foto.
Sayangnya setelah mereka menjauh, dan saya melintasi jembatan ke-3, hujan turun sangat deras. Terpaksa mencari tempat berteduh di salah satu rumah penduduk di tepi jalan. Sekitar setengah jam berlalu menunggu hujan reda, lalu saya pun melanjutkan perjalanan kembali.
Di peta, perjalanan saya seharusnya melewati Hotel De Bintan Villa terlebih dahulu. Baru berbelok ke sebuah persimpangan. Namun karena ragu, saya mundur balik arah dan menempuh jalan tanah merah. Jalan ini sangat sepi dan di kanan kiri hanya hutan. Tidak ada orang atau kendaraan yang lewat satu pun. Sempat waswas namun saya meyakinkan diri bahwa jalan ini akan tetap mengarah ke Pemancingan.
Hampir setengah jam melintasi jalan tanah. Hening, sepi, sendirian, hanya suara binatang hutan yang terdengar. Duh jadi sedikit ketakutan. Apalagi ada 2 ekor anjing yang melihat terus ke arah saya. Degdegan takut dikejar anjing. Sebentar - sebentar mengecek google map. Duh kok rasanya masih jauh terus ya. Setelah hampir 3 km perjalanan gowes melalui jalan tanah merah, akhirnya saya menemukan jalan aspal. Di ujung aspal terdapat sebuah vihara yang penuh dengan nuansa merah. Alhamdulillah leganya.
Di sebuah pertigaan dimana terdapat tugu durian, saya bertanya kepada penduduk sekitar mengenai arah ke Pemancingan Poyotomo. Mereka bilang sudah dekat. Yeay, rasanya ingin melompat saja dari sepeda saking gembiranya. Saya pun mengabari suami via whatsapp. Dia mengirimkan foto Pemancingan Poyotomo sore itu yang sangat indah. Huhu... masih 3 kilometer lagi. Saya pun menguatkan tekad walau ternyata jalan yang ditempuh mulai menanjak. Pyuuh. Capek deh.
Tepat pukul 17.30 saya tiba di Pemancingan Poyotomo. Di pintu gerbang, petugas keamanan dengan ramah menyambut dan mempersilahkan masuk. Biaya masuk ke pemancingan ini hanya 10.000 rupiah saja. Sudah bisa puas keliling taman dan foto-foto.
Pemancingan Poyotomo |
Gunung Bintan dari Pemancingan |
Chila, tenda, dan sepeda 😀 |
Sesaat tiba di kawasan pemancingan |
Hening, tenang, damai, dan indah.
itulah kesan pertama memasuki kawasan pemancingan ini. Taman, air kolam,
refleksi Gunung Bintan, bangku-bangku di sisi kolam, pondok-pondok beratap rumbia, semua seakan padu menciptakan keindahan yang begitu menenangkan batin.
Chila langsung menyambut dengan gembira. Kami pun bertemu beberapa teman dari Genpi Bintan yang saat itu sedang berkumpul dan mengobrol di kantin pemancingan. Rencananya sekitar 30 orang teman-teman Genpi Bintan akan berkemah di sini. Baru sebagian saja yang datang karena sore itu masih ada yang bekerja dan dalam perjalanan.
Untuk tenda kami sewa dari pemancingan. Murah saja per tenda seharga 50 ribu rupiah. Makan bisa di kantin dengan harga standar mulai dari 10.000 rupiah ke atas.
Malamnya setelah berkenalan dan bertegur sapa dengan teman-teman Genpi Bintan, saya pamit untuk beristirahat. 38,53 kilometer jarak yang saya tempuh selama 3 jam 14 menit membuat badan lelah, dan mata terserang kantuk yang luar biasa.
Belum pun lewat jam 9 malam, saya dan Chila sudah tertidur pulas diiringi tawa canda teman-teman Genpi Bintan yang sedang bakar-bakar ayam. Tak lama kemudian hujan deras mengguyur. Namun hujan ini tampaknya tak menyurutkan tekad Genpi Bintan untuk makan malam bersama. Buktinya dari balik tenda, saya masih mendengar suara cekikikan teman-teman yang sedang makan malam di tengah lapangan. Makan malam dengan lauk ayam bakar dan berkuahkan air hujan hehe. Luar biasa.
Saya sebentar saja terbangun untuk membetulkan barang-barang yang terkena tempias dan tetesan hujan yang bocor di tepi tenda. Setelah itu tertidur pulas hingga pagi menjelang.
Hujan telah sempurna reda. Gunung Bintan yang bernaungkan awan-awan tampak tegak tertancap di sisi Barat. Bunga-bunga mekar dan terayun ceria dibelai semilirnya angin pagi. Orang-orang yang terlelap, satu per satu menggeliat membuka mata. Hari baru pun telah tiba.
Sebenarnya masih sangat ingin berlama-lama di sini. Merenung, membaca, main hammock, memandangi lekat-lekat Gunung Bintan dari balik pondokan, atau membuat puisi-puisi bertema alam yang indah. Namun mengingat perjalanan masih jauh, seusai sholat subuh, mandi, dan sarapan, saya dan suami segera mengemas barang-barang untuk dirapikan dan dibawa pulang kembali.
Pukul 09.30 kami berpamitan kepada teman-teman Genpi Bintan yang sedang melakukan beragam permainan. Seperti team building mengasah kekompakan, kerja sama dan lainnya. Semoga saja komunitas yang pernah saya inisiasi ini, menjadi volunteer pariwisata yang bermanfaat. Menjadi laskar digital dalam menggaungkan destinasi-destinasi wisata di Kabupaten Bintan.
***
Hari itu, matahari tampak bersahabat. Langit sedikit mendung. Beberapa kilometer setelah De Bintan Villa, hujan rintik mulai mewarnai perjalanan. Namun saya bertekad untuk menyelesaikan perjalanan pulang dengan tanpa banyak jeda. Anggap saja rintik hujan ini sebagai pelepas dahaga agar badan saya selalu segar.
Alhamdulillah. Perjalanan pulang pun lancar tanpa ada halangan sedikitpun.
Sampai ketemu lagi di tulisan gowes series selanjutnya. 😘
Chila langsung menyambut dengan gembira. Kami pun bertemu beberapa teman dari Genpi Bintan yang saat itu sedang berkumpul dan mengobrol di kantin pemancingan. Rencananya sekitar 30 orang teman-teman Genpi Bintan akan berkemah di sini. Baru sebagian saja yang datang karena sore itu masih ada yang bekerja dan dalam perjalanan.
Untuk tenda kami sewa dari pemancingan. Murah saja per tenda seharga 50 ribu rupiah. Makan bisa di kantin dengan harga standar mulai dari 10.000 rupiah ke atas.
Foto keluarga 😊😀 |
Bermain hammock |
Berlatar Gunung Bintan |
Malamnya setelah berkenalan dan bertegur sapa dengan teman-teman Genpi Bintan, saya pamit untuk beristirahat. 38,53 kilometer jarak yang saya tempuh selama 3 jam 14 menit membuat badan lelah, dan mata terserang kantuk yang luar biasa.
Belum pun lewat jam 9 malam, saya dan Chila sudah tertidur pulas diiringi tawa canda teman-teman Genpi Bintan yang sedang bakar-bakar ayam. Tak lama kemudian hujan deras mengguyur. Namun hujan ini tampaknya tak menyurutkan tekad Genpi Bintan untuk makan malam bersama. Buktinya dari balik tenda, saya masih mendengar suara cekikikan teman-teman yang sedang makan malam di tengah lapangan. Makan malam dengan lauk ayam bakar dan berkuahkan air hujan hehe. Luar biasa.
Makan malam ala Genpi Bintan |
Saya sebentar saja terbangun untuk membetulkan barang-barang yang terkena tempias dan tetesan hujan yang bocor di tepi tenda. Setelah itu tertidur pulas hingga pagi menjelang.
Hujan telah sempurna reda. Gunung Bintan yang bernaungkan awan-awan tampak tegak tertancap di sisi Barat. Bunga-bunga mekar dan terayun ceria dibelai semilirnya angin pagi. Orang-orang yang terlelap, satu per satu menggeliat membuka mata. Hari baru pun telah tiba.
Sebenarnya masih sangat ingin berlama-lama di sini. Merenung, membaca, main hammock, memandangi lekat-lekat Gunung Bintan dari balik pondokan, atau membuat puisi-puisi bertema alam yang indah. Namun mengingat perjalanan masih jauh, seusai sholat subuh, mandi, dan sarapan, saya dan suami segera mengemas barang-barang untuk dirapikan dan dibawa pulang kembali.
Saya dan teman-teman Genpi Bintan. Foto: Hendri |
Pukul 09.30 kami berpamitan kepada teman-teman Genpi Bintan yang sedang melakukan beragam permainan. Seperti team building mengasah kekompakan, kerja sama dan lainnya. Semoga saja komunitas yang pernah saya inisiasi ini, menjadi volunteer pariwisata yang bermanfaat. Menjadi laskar digital dalam menggaungkan destinasi-destinasi wisata di Kabupaten Bintan.
***
Hari itu, matahari tampak bersahabat. Langit sedikit mendung. Beberapa kilometer setelah De Bintan Villa, hujan rintik mulai mewarnai perjalanan. Namun saya bertekad untuk menyelesaikan perjalanan pulang dengan tanpa banyak jeda. Anggap saja rintik hujan ini sebagai pelepas dahaga agar badan saya selalu segar.
Alhamdulillah. Perjalanan pulang pun lancar tanpa ada halangan sedikitpun.
Sampai ketemu lagi di tulisan gowes series selanjutnya. 😘
Mbaaa....aku jadi pingin olahraga bersepeda jugaa...
BalasHapusAku suka banget gowes.
Kalau mau beli sepeda, ada spek tertentu yang harus dipenuhi kah, mba?
((ceritanya menginspirasi sekali...haturnuhun mba Lina))
Iya ada spek tertentu untuk perempuan dan laki-laki biasanya beda. Coba ditanya saja kalau beli ke penjualnya. Biasanya mereka lebih mengerti.
HapusWaaah, itu gurun pasir yang ngehits itu ya ... duuuh, kapan ya bisa ke sana.
BalasHapusIya Kang. Sini main ke Batam lagi dan sekalian bisa main ke Bintan.
HapusWaahh,, keren banget mbaakkkk...
BalasHapusUdah lama ga sepedaan, liat artikel ini malah kangen sepedaan lagi >.<
Ayo Mbak Ambar sepedaan lagi. Sehat loh.
HapusYa ampun kentel banget ya ikatannya, seru having fun bareng duh ngiler.
BalasHapusIndah pula.
Iya Alhamdulillah Nyi. Berkomunitas begini bikin nambah saudara.
HapusWah keren ulasannya detail sekali mbak. Sama seperti Lendy diatas, aku juga jadi pengen ikutan gowes alias bersepeda. Temen2ku suka bersepeda sampe jembatan Suramadu, dan aku mlongo kogh kuat sih. Katanya justru bersepeda itu kenikmatan :)
BalasHapusEh benar loh Mbak, bisa gowes sepedaan itu rasanya nikmat banget. Yuk sepedaan.
HapusTempatnya seru banget itu mbak. Lebih asyik lagi karena perjalanannya ditempuh dengan bersepeda bersama :)
BalasHapusIya seru Mbak Andy, rame-rame gini nambah semangat gowesnya.
HapusSeru banget teh. Sejak jatuh dan dapat jahitan di dagu, saya jadi agak trauma naik sepeda. Padahal aslinya suka sekali. Semoga saya jd termotivasi mau gowes lagi ikutin jejak teh Lina
BalasHapusAku juga pernah jatuh Mbak Nisa, malah nabrak tukang ketoprak haha. Tapi Alhamdulillah nggak trauma.
HapusSeru banget perjalanannya ya mbak. Bisa ajak keluarga pula. Jadi pingin hehe
BalasHapusHehe makasih banyak Mbak.
HapusWaaaw, keren banget itu ada Gurun Pasir nya. Jadi berasa dimana ya...hehehe. Jadi mupeng main kesana mbak.
BalasHapusIya Mbak Nis. Kayak di Timur Tengah lah haha.
HapusHmmm...jalan2 naik sepeda..pakai tidur di tenda..sumpah itu seru banget.
BalasHapusJadi kepikiran olahraga sepeda..
Iya Alhamdulillah seru banget Mbak. Jadi kenangan loh ini.
HapusKeren banget mba!
BalasHapusAku sepedahan 2kali muterin perumahan aja ngos-ngosan.
Bisa lihat pemandangan yg indah banget dari tempat pemancingan juga 💕
Iya Alhamdulilah ini bisa gowes santai sambil kemping.
Hapus