Menemukan Batu Akik di Dusun Sade yang Unik

Gerbang Masuk Dusun Sade
Seorang bapak-bapak mengenakan ikat kepala dan pakaian khas Lombok menyambut kedatangan kami. Ia mengenalkan diri dan kemudian mengajak kami berkeliling. Hari itu saya dan Marita, dihantar oleh  teman dari Mataram, Kang Asep dan keluarganya mengunjungi kampung wisata Dusun Sade yang termasuk ke dalam wilayah Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah.

Dusun Sade ini terdiri dari 150 bangunan rumah dengan 150 kepala keluarga. Penduduknya kurang lebih mencapai 700 orang dan satu sama lain masih terikat tali kekerabatan. Karena letaknya tepat di tepi jalan raya dan dekat dengan bandara, maka Dusun Sade sangat ramai dikunjungi oleh turis. Baik lokal maupun asing.
Bersama Agha dan Chaca

Kami diajak berkeliling menyusuri gang-gang yang cukup bersih di diantara rumah-rumah adat. Menyaksikan langsung cara pembuatan kain tenun mulai dari pemintalan kapas hingga menjadi sebuah kain yang bernilai tinggi.

Berbagai souvenir cantik dan unik tersaji pada beberapa teras rumah dan meja-meja yang digelar terbuka di halaman dan samping-samping rumah. Beberapa ibu-ibu dengan antusias menawarkan dagangannya kepada kami. Yup, saatnya berburu oleh-oleh. Kebetulan harga yang ditawarkan lumayan murah.

"Jangan lupa oleh-olehnya ya. Nggak usah macam-macam. Cukup Batu Akik saja." Seorang rekan kerja berpesan di akun facebook saya. Pesannya sama dengan suami yang sebelum berangkat sempat bilang minta dibawakan batu akik juga. Duh bapak-bapak ini. Demam batu akiknya nggak hilang-hilang.

Menyusuri lorong-lorong Dusun Sade ternyata tidak susah menemukan batu akik. hampir di setiap pedagang apa pun rata-rata tersaji sebaskom batu akik yang direndam oleh air. warnanya cukup unik-unik dengan harga yang bervariatif. Saya tidak begitu mengerti ilmu perbatuakikan tapi mengingat pesan suami akhirnya saya memilihkannya beberapa bongkah. Cukup jika dijadikan 5 hingga 6 biji batu akik.

Sebaskom Batu Akik

Batu Akik telah diasah
Adapun Marita seperti menemukan surganya sendiri. Sibuk menawar dan mencoba berbagai souvenir yang tersedia. Semenjak awal keberangkatan dari Batam saja anak ini berfikir keras bagaimana dan dimana akan membeli oleh-oleh pesanan teman-temannya. Setelah hampir seminggu perjalanan kami menyusuri Provinsi Nusa Tenggara Barat ini belum satu pun oleh-oleh yang berhasil dibeli. Dan inilah saatnya berburu dan menghabiskan uang. Saking banyaknya souvenir yang dibeli, Marita sampai bingung menghitung berapa uang yang harus dibayarkan. Haha. Yang lucu lagi pedagangnya bingung. Pedagang lain yang membantu menghitung pun ikut bingung. Saudaranya pedagang yang ikut menyaksikan turut bingung. Saya yang bukan pedagang Alhamdulillah tidak ikut-ikutan bingung.Wkwkwk. Saatnya kalkulator bertindak. Mengeluarkan tablet kesayangan dan tuk..tuk..tuk...sekian kali sekian sama dengan sekian dibagi sekian.Tuk..tuk.. Selesai sudah kebingungan yang terjadi. Syah? Syaaah :D

Kain Tenun Suku Sasak di Dusun Sade

Sementara saya, yang memang sudah emak-emak dan banyak perhitungan, yang diingat ya cuma dua hal saja batu akik untuk suami dan oleh-oleh untuk Chila. Lainnya lihat-lihat dulu deh mana tahu masih ada sisa uang nyelip di dompet. Hehe. Meskipun hati meronta-ronta karena pandangan mata selalu saja menatap kain-kain cantik berwarna-warni khas Lombok yang sangat menarik perhatian.

Penjual Souvenir yang Masih Anak-Anak

Saya dan dua orang anaknya Kang Asep, Agha dan Chaca terus berjalan menyusuri gang-gang di Dusun Sade dengan semangat. kedua orang tuanya tidak ikut serta berkeliling. Kang Asep dan istri hanya duduk-duduk saja di Balai Tani yang ada di halaman depan Dusun Sade sambil beristirahat. Sedangkan Agha dan Chaca tidak bisa diam, berlari ke sana kemari, terus saja mencoba segala sesuatu, bertanya berbagai hal yang ditemui, dan memperhatikan hal-hal yang menarik bagi mereka. Rasa ingin tahu yang khas dijumpai pada sifat anak-anak. Seru, mengingatkan saya saat masa kecil dulu yang serba ingin tahu.

Nenek Pemintal Kapas

Hampir satu jam berkeliling bertanya dan menawar ini itu maka selesailah kunjungan ke Desa Sade ini. Hasilnya, saya hanya membawa sekeresek batu akik dan gelang-gelang cantik untuk Chila dan teman-teman sekolahnya. Sedangkan Marita membeli banyak sekali souvenir, seperti kalung, gelang, syal tenun, dan entah apalagi.


  

14 komentar :

  1. Waaah.. aku belum kebagian satu pun dari sekresek batu akiknya :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha.....yang udah punya sih nggak bakal kebagian :)

      Hapus
  2. Fenomena batu akik ini emang luar biasa ya, Mbak Lina. Gak di desa, gak di kota, semua orang serempak mengilainya. Ah semoga membawa kesejahteraan bagi para pedagang sofenir di Sade :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul Mbak. Sebenarnya saya nggak mau ikut-ikutan jadi bagian dari kegilaan ini, tapi karena orang-orang di sekitar banyak yang pesan jadilah ikut-ikutan :(

      Hapus
  3. Gelombang batu akik mengalahkan gelombang senyum shaheer sheik, hehehe ITU Yemen e sampeyan beli APA sampe kuwalahan ngitung, sedesa dibelu semua :)))

    BalasHapus
  4. Duh... sekali lagi jatuh cinta ama tenunan yang cantik2 itu...ira

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak duuuh keren-keren banget hasil tenunannya.

      Hapus
  5. Wah sampai kapan ya fenomena batu akik ini bertahan ? senang ya bisa jalan jalan kesana :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya fenomena lain datang dan berlalu. Batu akik masih saja heboh hingga sekarang :) belum juga beranjak berganti dgn fenomena lainnya.

      Hapus
  6. Saya juga kesengsem batu akik, pengin yang warnanya biru. mungkin Mbak Lina mau ngasih saya? he3

    BalasHapus
  7. mbak, kasih gambar batunya yang rada gedean dong mbak.. siapa tahu yudi bisa beli juga hihihihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nanti kalau gambarnya gede-gede Yudi bisa ngences jadi yang kecil aja dah :D

      Hapus
  8. Wah kalau suami saya ke sana pasti borong batu akik mbak, hehe.. kalau saya kainnya aja, cantik-cantik

    BalasHapus

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita