……………………………………..
Ah,
Muhammad, Muhammad. Betapa kami mencintaimu. Betapa hidupmu bertaburan
emas permata kemuliaan, sehingga luapan cinta kami tak bisa dibendung
oleh apa pun. Dan jika seandainya cinta kami ini sungguh-sungguh, betapa
tak bisa dibandingkan, karena hanya satu tingkat belaka di bawah
mesranya cinta kita bersama kepada Allah.
Akan
tetapi tampaknya cinta kami tidaklah sebesar itu kepadamu. Cinta kami
tidaklah seindah yang bisa kami ungkapkan dengan kata, kalimat, rebana,
dan kasidah-kasidah.Dalam sehari-hari kehidupan kami, kami lebih
tertarik kepada hal-hal yang lain.
Kami
tentu akan datang ke acara peringatan kelahiranmu di kampung kami
masing-masing, namun pada saat itu nanti wajah kami tidaklah seceria
seperti tatkala kami datang ke toko-toko serba ada, ke bioskop, ke pasar
malam, ke tempat-tempat rekreasi.
Kami mengirim shalawat
kepadamu seperti yang dianjurkan oleh Allah karena Ia sendiri beserta
para malaikat-Nya juga memberikan shalawat kepadamu. Namun pada umumnya
itu hanya karena kami membutuhkan keselamatan diri kami sendiri.
Seperti
juga kalau kami bersembahyang sujud kepada Allah, kebanyakan dari kami
melakukannya karena kewajiban, tidak karena kebutuhan kerinduan, atau
cinta yang meluap-luap. Kalau kami berdoa, doa kami berfokus pada
kepentingan pribadi kami masing-masing.
Sesungguhnya
kami belum mencapai mutu kepribadian yang mencukupi untuk disebut
sebagai sahabatmu, Muhammad. Kami mencintaimu, namun kami belum
benar-benar mengikutimu. Kami masih takut dan terus menerus tergantung
pada kekuasaan-kekuasaan kecil di sekitar kami. Kami kecut pada atasan.
Kami menunduk pada benda-benda. Kami bersujud kepada uang, dan begitu
banyak hal-hal yang picisan.
Setiap
tahun kami memperingati hari kelahiranmu. Telah beribu-ribu kali umatmu
melakukan peringatan itu, dan masing-masing kami rata-rata memperingati
kelahiranmu tiga puluh kali. Tetapi lihatlah : kami jalan di tempat.
Tidak cukup ada peningkatan penghayatan. Tidak terlihat output personal
maupun sosial dari proses permenungan tentang kekonsistenan. Acara
peningkatan maulidmu pada kami mengalami involusi, bahkan mungkin
degradasi dan distorsi.
Negarawan Agung
Zaman
telah mengubah kami, kami telah mengubah zaman, namun kualitas
percintaan kami kepadamu tidak kunjung meningkat. Kami telah lalui
berbagai era, perkembangan dan kemajuan. Ilmu, pengetahuan, dan
teknologi kami semakin dahsyat, namun tak diikuti dahsyatnya perwujudan
cinta kami kepadamu.
Kami
semakin pandai, namun kami tidak semakin bersujud. Kami semakin pintar,
namun kami tidak semakin berislam. Kami semakin maju, namun kami tidak
semakin beriman. Kami semakin beriman, namun kami tidak semakin
berihsan. Sel-sel memuai. Dedaunan memuai. Pohon-pohon memuai. Namun
kesadaran kami tidak. Cinta dan internalisasi ketuhanan kami tidak.
Kami
masih primitif dalam hal akhlak---substansi utama ajaranmu. Padahal
kami tak usah belajar soal akhlak karena tidak menjadi naluri manusia;
berbeda dengan saudara kami kaum Jin yang ilmu tak usah belajar namun
akhlak harus belajar. Akhlak kaum jin banyak yang lebih bagus dari kami.
Sebab
kami masih bisa menjual iman dengan harga beberapa ribu rupiah. Kami
bisa menggadaikan Islam seharga emblem nama dan segumpal kekuasaan. Kami
bisa memperdagangkan nilai Tuhan seharga jabatan kecil yang masa
berlakunya sangat sementara. Kami bisa memukul saudara kami sendiri,
bisa menipu, meliciki, mencurangi, menindas, dan mengisap, hanya untuk
beberapa lembar uang.
Padahal kami mengaku sebagai pengikutmu, Ya Muhammad. Padahal engkau adalah pekerja amat
keras dibanding kepemalasan kami. Padahal engkau adalah negarawan agung
dibanding ketikusan politik kami. Padahal engkau adalah ilmuwan ulung
dibanding kepandaian semu kami. Padahal engkau adalah seniman anggun
dibanding vulgar-nya kebudayaan kami.
Padahal
engkau adalah pendekar mumpuni dibanding kepengecutan kami. Padahal
engkau adalah strateg dahsyat dibanding berulang-ulangnya keterjebakan
kami oleh sistem Abu Jahal kontemporer.
Padahal
engkau adalah mujahid yang tak mengenal putus asa dibanding deretan
kekalahan-kekalahan kami. Padahal engkau adalah pejuang yang sedemikian
gagah perkasa terhadap godaan benda emas dibanding kekaguman tolol kami
terhadap hal yang sama.
Padahal
engkau adalah moralis kelas utama dibanding kemunafikan kami. Padahal
engkau adalah panglima kehidupan yang tak terbandingkan dibanding
keprajuritan dan keseradaduan kepribadian kami. Padahal engkau adalah
pembebas kemanusiaan.
Padahal
engkau adalah pembimbing kemuliaan. Padahal engkau adalah penyelamat
kemanusiaan. Padahal engkau adalah organisator dan manajer yang penuh
keunggulan dibanding ketidaktertataan keumatan kami.
Padahal
engkau adalah manusia yang sukses menjadi nabi dan nabi yang sukses
menjadi manusia, di hadapan kami. Padahal engkau adalah liberator
budak-budak, sementara kami adalah budak-budak yang tak pernah merasa
,menyadari, dan tak pernah mengakui, bahwa kami adalah budak-budak.
Sementara
kami adalah budak-budak---dalam sangat banyak konteks yang sudah
berbincang tentang perbudakan, segera mencari kalimat-kalimat, retorika,
dan nada yang sedemikian indahnya sehingga bisa membuat kami tidak lagi
menyimpulkan bahwa kami adalah budak-budak.
Di
negara kami ini, umatmu berjumlah terbanyak dari penduduknya. Di negeri
ini, kami punya Muhammadiyah, punya NU, Persis, punya ulama-ulama dan
MUI, ICMI, punya bank, punya HMI, PMII, IMM, Ashor, Pemuda Muhammadiyah,
IPM, PII, pesantren-pesantren, sekolah-sekolah, kelompok-kelompok studi
Islam intensif, yaysan-yayasan, mubalig-mubalig, budayawan, dan
seniman, cendekiawan, dan apa saja.
Yang kami tak punya hanyalah kesediaan, keberanian, dan kerelaan yang sungguh-sungguh untuk mengikuti jejakmu. (Emha Ainun Nadjib)
Posting Komentar
Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.