File MP for everyone
Kenapa tak pernah kautambatkan
perahumu di satu dermaga?
Padahal kulihat, bukan hanya satu
pelabuhan tenang yang mau menerima
kehadiran kapalmu
Kalau dulu memang pernah ada
satu pelabuhan kecil, yang kemudian
harus kaulupakan,
mengapa tak kau cari pelabuhan lain,
yang akan memberikan rasa damai yang lebih
Seandainya kaumau,
buka tirai di sanubarimu, dan kau akan tahu,
pelabuhan mana yang ingin kausinggahi
untuk selamanya
hingga pelabuhan itu jadi rumahmu,
rumah dan pelabuhan hatimu.
Puisi di atas berjudul “Pelabuhan” karya Tias Tatanka (istri dari Gola Gong).
Hmmm…. Saya mulai
tersenyum sendiri, ah ternyata saya pun bagai pelabuhan-pelabuhan yang
diceritakan puisi tadi, berharap dan menanti datangnya Sang Nakhoda
kapal yang akan berlabuh di hati.
Lalu saya mulai membuka-buka peta perjalanan hidup saya ke depan yang telah
lama terlipat di benak saya. 20, 23, 25, dan sekarang usia saya 26 lebih
menjelang 27 tahun. Ada
satu lingkaran kecil dimana angka 27 itu tertandai. Di bawahnya tertera
sebuah kata yang lugas. “Menikah”. Ya di usia 27 itu saya ingin atau
akan menikah. Namun lagi-lagi saya tersenyum sendiri. Siapakah nakhoda
kapal yang akan berlabuh itu? Allah, hanya Engkaulah yang Maha Tahu
jawabnya.
Saya
jadi teringat pertanyaan suami Diana, salah satu sahabat terbaik saya
(semoga Allah SWT senantiasa memberikan berkah kepada keluarga mereka)
ketika keduanya berkunjung ke tempat tinggal saya.
“Memangnya pengen nikah di usia berapa?” kata suami Diana sambil tersenyum-senyum.
“Dua tujuh,” kata saya jujur.
“Sekarang usianya berapa?” Tanyanya lagi.
“Dua enam,” jawab saya singkat.
“Insya Allah setahun lagi,” kata suami Diana yakin.
“Mudah-mudahan do’ain aja ya,” saya terheran-heran. Kok bisa yakin gitu ya si Mas ini.
“Memangnya pengen nikah di usia berapa?” kata suami Diana sambil tersenyum-senyum.
“Dua tujuh,” kata saya jujur.
“Sekarang usianya berapa?” Tanyanya lagi.
“Dua enam,” jawab saya singkat.
“Insya Allah setahun lagi,” kata suami Diana yakin.
“Mudah-mudahan do’ain aja ya,” saya terheran-heran. Kok bisa yakin gitu ya si Mas ini.
Obrolan itu telah lewat berbulan-bulan yang lalu, namun entah kenapa masih terus terngiang-ngiang di telinga. Usia dua puluh tujuh sebentar lagi menjelang. Tapi … seandainya saat
itu pun tiba, saya dengan segala keinginan saya itu rasanya masih belum
siap menghadapinya. Dan konon katanya hampir semua orang yang menjalani
proses pernikahan memang tidak pernah ada yang merasa siap.
Diana
salah satunya. Ketika suara hatinya memutuskan untuk menikah
sesungguhnya ia dalam keadaan tidak siap. Hanya rahmat Allah sajalah
yang membawa Diana menjalani proses pernikahan itu.
Saya teringat betul ketika ia dengan gugup dan panik menghubungi saya meminta pertimbangan dan
saran saya mengenai keputusannya. Memberi ruang kepada saya untuk ikut
andil mengambil keputusan dalam hidupnya. Hmmm, masalah mensikapi cowok
mungkin saya sedikit tahu tapi merekomendasikannya untuk cepat-cepat
menikah membuat fikiran saya buntu. Yang ada malah saya terkesan
mempengaruhinya untuk tidak cepat-cepat menikah. Alasannya nanti siapa
lagi yang akan menemani saya naik gunung kalau dia sudah nikah. Apalagi
kami sepakat beberapa bulan ke depan akan mendaki gunung-gunung di Pulau
Sumatera.
Akhirnya
Diana pun menikah. Dan saya tidak sempat menghadirinya. Karena
bertepatan dengan itu saya sedang mendaki gunung-gunung di Sumatera.
Ada
perasaan sedih dan bahagia menyusup bergantian ke dalam hati.
Sedih karena mungkin ke depan kebersamaan kami tak sesering dulu lagi.
Bahagia karena mempunyai teman
yang teguh pendiriannya. Betapa tidak, ia memilih menikah daripada pacaran.
Ia memilih menyempurnakan setengah Dien (agamanya) daripada mendekatkan
diri kepada zina. Ia memilih damai dan ketenangan dalam berumah tangga
daripada kegelisahan dan kegundahan masa melajang. Ia memilih pahala
sebanyak-banyaknya dengan menjadi istri dan calon ibu bagi anak-anaknya
kelak daripada bersenang-senang mengikuti keinginan mendaki gunung.
Sebuah
pilihan yang berani. Saya katakan demikian karena sesungguhnya ia tak
begitu mengenal calon suaminya. Hanya dalam waktu seminggu pertimbangan
nikah diambil dan beberapa bulan kemudian menikah. Sungguh ia tak
mengetahui masa lalu calon suaminya. Jalan bareng saja tidak, apalagi
pacaran. Ya dia tidak pernah pacaran. Komitmennya untuk yang satu ini
memang harus dapat acungan jempol. Say No To Pacaran. Mmmm….. dulu saya
pun memang pernah seperti itu. Say no untuk pacaran. Tapi seiring waktu
ketika sisi iman melemah dan ketika hati merasa begitu hampa, akhirnya
saya pun mulai menjalani yang namanya pacaran. Tapi dengan satu syarat
“Harus Berjauhan” paling tidak beda pulau dan dipisahkan laut.
He..he..he.. kadang saya sering tersenyum sendiri, kok bisa-bisanya
menerapkan aturan begitu kepada diri sendiri. Padahal jujur ajalah mungkin ingin seperti orang kebanyakan yang berpacaran. Iya apa iya?
Tentu
keputusan semua itu pun saya jaga untuk tetap bisa menyendiri sebelum
menikah. Ingin rasanya selalu menyibukkan diri yang sendiri ini untuk
Allah. Namun betapa manusia hanyalah makhluk yang lemah, betapa sisi
kehidupan yang dijalani selalu membuat saya ingin didengar,
diperhatikan, dan dikasihi oleh orang lain (baca: seseorang).
Kembali
lagi ke cerita Diana tadi. Setahun kemudian kami bertemu. (Walau ada di
satu daerah, sungguh betapa susahnya menjaga tali silaturahim dengan
sahabat). Dia tampak ceria sekali. Wajahnya berseri bahagia dan berat
badannya pun kian bertambah. Dari awal saya menyimpan kekhawatiran
kepada pernikahannya. Ia pernah bilang kalau ia sama sekali tidak
mengenal kata cinta atau bahkan sayang. Dan menikahi laki-laki itu tentu
bukan karena cinta atau sayang namun karena Allah dan Rasul-Nya saja yang telah membuatnya melakukan pilihan menikah.
Ada
satu pertanyaan yang ingin sekali saya utarakan padanya. “Kamu
bahagia?” akhirnya pertanyaaan itu pun keluar dari mulut saya. “Iya,”
katanya menjawab sambil tersenyum. Tetap bahagia. Alhamdulillah. Bibit
cinta pun tampak di wajahnya. Ya itu hadiah dari Allah untuk orang yang
taat dengan aturannya. Cinta bisa datang belakangan. Yang penting ada
niat menyucikan dan menjaga diri melalui pernikahan.
Dan
tulisan ini saya akhiri dengan sebuah lagu indah dari “Java Jive” yang
berjudul “Menikah”. Jauh sebelum saya mengenal teman lelaki dan jauh
sebelum saya merasa niatan menikah hadir di lubuk hati. Saya
tergila-gila dengan lagu ini.
Apakah kau tak pernah tahu
Betapa indahnya dirimu
Biarkan rambut yang tergerai
Jatuh dalam pelukanku
...........................
Tatap matamu harapan
………………….
Ohh… menikahlah denganku
Bahagialah hati ini
Ohh…menikahlah denganku
Biarlah dunia berlalu
Menikahlah denganku
……………
Maaf, syairnya sudah lupa karena lagu ini lagu jaman saya masih ABG.
Itu saja, dan menikah tentu saja
bukanlah hal yang menakutkan. Ingatlah seandainya kita berlama-lama menujunya, sesungguhnya kita sedang terkena tipu daya setan. Bagaimana setan tidak
melakukan tipu daya kalau setiap saat, setiap perbuatan, setiap ucapan baik
suami kepada istri, dalam ruh pernikahan semuanya adalah pahala yang besar.
Kepada yang tergerak hatinya
untuk menikah. Percayalah Allah pasti menolong memudahkannya. Dan kepada yang
belum tergerak, saya ingin mengingatkan sebuah Hadist Rasulullah SAW bahwa
“Sejek-jelek kematian adalah kematian orang yang membujang.” Semoga kematian
tidak segera menjemput kita di gunung, di rumah, di kota, atau di desa, sedangkan kita masih
dalam keadaan membujang.
Wallahualam.
Wallahualam.
No comments:
Post a Comment
Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.