Menikmati Kemping Keluarga di Hutan Kota Batam

Sebagai kota kepulauan, Batam tak pernah kehabisan tempat untuk dijadikan objek wisata bahari. Sebagai mainland, Batam mempunyai puluhan lokasi pantai yang sedang menggeliat berbenah, mendandani dirinya untuk dijadikan objek wisata unggulan. Belum lagi pesona pulau-pulau di kawasan hinterland yang jumlahnya hingga ratusan. Baik pulau-pulau yang berpenghuni maupun yang tidak berpenghuni. Oleh sebab itu Batam bisa saja menjadi pusat wisata bahari di Indonesia jika pengembangan dunia pariwisatanya berjalan maksimal.

Sungai Kecil dengan Bunga Pandan Liar


Namun bukan hal di atas yang sebenarnya ingin saya ceritakan. Melainkan bercerita tentang sebuah lokasi wisata alam yang sebenarnya cukup unik. Yaitu Hutan Pancur Simpang Dam, Muka Kuning, Batam. Di tengah gerumul pulau-pulau dan lekukan selat-selat terdapat sepetak telaga di dalam rimba belantara yang 180 derajat berbeda dengan kondisi alam Batam secara umum. 

Ya, saya katakan unik karena lokasinya berada di tengah-tengah hutan. Sedangkan hutan itu sendiri berada di tengah-tengah gempuran pembangunan Batam yang kian membabi-buta. Hutan Kota. Pelan tapi pasti, hutan ini telah tergerogoti. Semakin menyempit dan mengecil seiring deal-deal bisnis tingkat tinggi antara para develover, bankir, dan para pemangku kekusasaan. Belum lagi para pendatang yang secara ilegal mendirikan rumah-rumah liar serta membuka ladang di tepi-tepi hutan. Hutan yang entah berapa tahun ke depan mungkin saja akan menghilang.
Telaga Bidadari Batam

Lokasi wisata alam ini kerap disebut Hutan Pancur Simpang Dam. Dinamakan demikian karena di hutan tersebut terdapat sungai yang mengalirkan air terjun kecil yang mirip pancuran. Sungai yang tenang, teduh, dan indah. Dihiasi pepohonan rindang dan bunga pandan liar di kanan kirinya.

Melompat
Dikatakan Simpang Dam karena akses menuju lokasi berawal dari sebuah persimpangan menuju Dam (bendungan) Muka Kuning. Dam ini dibangun guna memenuhi kebutuhan air baku masyarakat Pulau Batam khususnya kawasan Kecamatan Sei Beduk dan Kecamatan Batu Aji. Sedangkan sumber utama air dam adalah air hujan dan air sungai dari hutan yang terdapat di sekitarnya. Hutan yang berfungsi sebagai penyangga bagi ketersediaan air tanah yang nantinya mengalir dan terkumpul ke dalam Dam Muka Kuning.

Pada weekend pertengahan Mei lalu, saya dan keluarga sengaja menyempatkan diri untuk trekking ke Hutan Pancur. Walau sudah berkali-kali ke hutan ini tetap saja tak pernah ada kata bosan. Kami sengaja berangkat sore hari karena sekalian ingin berkemah (kemping). Saat itu kami ditemani juga oleh seorang teman, Rina, dan keponakannya Rina, Nata yang berusia 6 tahun. Hampir sama dengan usia Chila, anak saya. Rina bilang ingin mengajari keponakannya agar tidak takut. Apalagi ada Chila sehingga Nata bisa belajar dan bermain bersama-sama dengan Chila.

Pos Jaga dan Parkiran Kendaraan
Perjalanan ditempuh dengan menaiki kendaraan roda dua hingga ke pos jaga. Di pos telah banyak kendaraan yang diparkir. Sebetulnya ini merupakan parkir ilegal, karena lokasi Hutan Pancur sendiri berada di wilayah hutan lindung dimana aktifitas yang bertujuan komersil adalah dilarang. Namun seperti peribahasa dimana ada gula di situ ada semut. Dimana banyak orang disitu ladang dan peluang mendapatkan uang. 


Para penduduk sekitar Simpang Dam yang melihat membludaknya pengunjung terutama setiap weekend menganggap sebagai satu kesempatan untuk mengais rejeki. Mungkin tak ada salahnya hingga kegiatan trekking dilarang oleh yang berwenang seperti pada beberapa belas tahun silam saat debit air dam mencapai level sangat mengkhawatirkan.

Setelah menitipkan motor di rumah penduduk (tidak di pos), dari parkiran kami menyusuri jalan setapak hingga tepian dam. Setelah itu menyebrangi jembatan kayu. Menanjak sedikit dan menemukan sebagian pepohonan di hutan telah terbakar. Sungguh sedih melihat bagian hutan ini begitu kering dan kerontang. Entah kebakaran yang sengaja atau tidak disengaja. Namun tak lama kemudian kami memasuki hutan yang cukup rindang dan suasana hutan pun teduh kembali. Menyebrangi beberapa jembatan kecil lagi sebanyak 3 kali hingga kami tiba di sebuah tepian sungai yang berair jernih. Waktu tempuh dengan langkah mengikuti kecepatan Chila dan Nata kurang lebih 50 menit. 


Setelah menyebrang sungai kami memilih lokasi untuk kemping di sebuah tanah lapang di tepi telaga kecil. Di atas telaga terdapat tebing batu setinggi kurang lebih 4 meter yang mengucurkan air sungai dari bagian atas seperti air terjun. Karena air terjunnya rendah, maka para pengunjung lebih suka menyebutnya dengan nama Pancur.

Di lokasi kemping telah berdiri tenda berwarna biru dengan deretan pancing berjejer di depannya. Saya jadi teringat obrolan dengan tukang parkir di pos jaga, bahwa ada sepasang suami istri yang tiap sabtu minggu menginap dan berkemping di hutan ini. Mereka berdua sungguh membuat saya tercengang. Bagaimana tidak, sementara di luar sana, orang-orang mencari hiburan di antara hingar bingarnya keramaian kota, mereka berdua malah selalu menyepi sambil memancing di tepi sungai. Mencari keheningan dari salah satu sudut hutan Batam yang masih tersisa.

Tenda Kami
3 buah tenda cantik dan colorful telah kami dirikan saling berhadap-hadapan. Berdekatan dengan tenda Bu Ami dan suaminya. Pasangan suami istri yang saya ceritakan barusan. Karena tenda saya dan suami hanya berkapasitas dua orang, maka tenda Chila pun kami bawa. Tenda model baru yang sekali pasang tidak sampai satu menit sudah berdiri. Praktis dan hemat waktu.

Menjelang sore saya mengajak Chila untuk mandi berendam di air sungai yang mengalir tenang. Awalnya ia menolak karena dingin, namun setelah pelan-pelan menurunkan kaki dan badan ke dalam air sungai, ia malah asyik bermain-main. Chila tampak heboh sendiri dengan panci trangia yang dia hanyutkan seperti kapal-kapalan. Lalu dikejar dan ditangkap. Dihanyutkan, dikejar kemudian ditangkap. Dihanyutkan, dikejar... halaaah capek sendiri saya melihatnya. 

Pancing-Pancing Bu Ami dan suaminya
Malam mulai menjelang. Gelap menelikung seluruh pemandangan. Lilin, lampu gantung, dan senter mulai dinyalakan. Beberapa anak muda sepantaran SMP dan SMA yang juga menginap di sana menyalakan api unggun. Dua orang dari mereka tampak asyik bergelayutan di hammock yang kami pasang di pohon-pohon di tepi sungai. Suami sedang asyik merebus singkong yang dibelinya di Simpang Dam tadi sore. Chila dan Nata tak kalah asyik mengikuti Bu Ami dan suaminya mancing di tepi telaga. Rina dan saya duduk-duduk mengobrol di luar tenda. Namun lama-lama ngantuk menyerang saya luar biasa. Dan saya pun terlelap dalam buaian malam. Lama-lama terasa ada yang aneh di mulut saya. Sediki manis dan...puaaah...puaaah....saya meniupkan sesuatu yang menempel di bibir. Ya ampuuun, dasar jail. Suami mencocolkan singkong rebus yang dibaluri gula pasir ke mulut saya. Mendadak melek.

Setelah ngobrol panjang kali lebar kali tinggi dengan Rina, terutama membahas rekan-rekan di grup Anak Pulau dan Batam Traveler yang sedang island hopping, sekitar jam setengah sepuluh kami beranjak ke tenda masing-masing. Saya tidur dengan Chila yang langsung pulas sesaat kemudian. Rina dan Nata di tenda sebelah. Sementara suami saya tidur sendiri di tendanya. Malam itu kami semua tidur damai di antara suara-suara hutan dan gemericik air sungai yang mengenai bebatuan.

Hand in frame
Pagi-pagi setelah sarapan mie dan meneguk kopi hangat, saya, Chila, dan Nata berenang bersama di tepi telaga. Nyebur-nyebur di tepinya saja karena belum pede untuk berenang ke tengah. Kalau di kolam renang saya masih bisa nyampe berenang hingga sepuluh meteran, tapi di sini nggak berani karena belum tahu seberapa kedalamannya. 

Chila dan Ayahnya

Kopi Pagi

Setelah beberapa jam menikmati suasana Hutan Pancur yang mulai ramai dengan pengunjung dari berbagai kalangan dan komunitas, siangnya sekitar jam 12 kami beranjak pulang. Namun tak lupa sebelum pulang membersihkan lokasi kemping dengan memungut dan mengumpulkan sampah. Mengajari Chila dan Nata secara langsung untuk menjaga kebersihan lingkungan. Dengan semangat dan antusias dua anak ini memunguti sampah lalu membuangnya ke pembakaran api unggun yang masih menyala. 

Sebenarnya membakar sampah bukan merupakan solusi akhir. Karena membakar sampah tetap menimbulkan polusi lain yakni polusi udara meskipun dalam kadar kecil. Walaupun demikian kami memilih membakar sampah-sampah ini agar tidak bertebaran kemana-mana. Untuk membawa pulang rasanya tidak mungkin karena terlalu banyak sampah yang ditinggalkan pengunjung lain. Setelah api mengecil dan menitipkan pada Bu Ami untuk mematikannya, kami pun bergegas pulang.

Jauh ke dalam menemukan pemandangan lain lagi
Sepanjang perjalanan pulang, Chila dan Nata berjalan susul menyusul. Tak mau kalah. Melintas beberapa jembatan kayu tanpa bantuan. Lihatlah....mereka berdua kini menjadi pemberani. Alam membentuk dan mengajari mereka begitu cepat.

Chila Menyebrang Jembatan Kayu Sendiri

Baca Cerita ke tempat ini sebelumnya di tulisan "Trekking ke Hutan Simpang Dam Muka Kuning Batam."

19 komentar :

  1. Waah, seru sekali ya kemping di hutan :D Terakhir kali kemping di hutan itu waktu ke sukabumi :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya pengen banget kemping di Sukabumi Mas Fahmi. Terutama di Situ Gunung atau Sukamantri.

      Hapus
  2. kagum sama kak lina dan keluarga...semua bisa kompak..semua bisa menikmati perjalanan...
    dan info tentan pancur menambah pengetahuan baru buat saya,,,
    semoga suatu saat saya yang berada disana....heheheh ngayal.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semua bermula dari khayalan lalu jadi keinginan kemudian jadi kenyataan. Pancur dekat kok Sar. Ayo kapan-kapan boleh saya hantar kok ke sana :D

      Hapus
  3. Asik sekali bisa kemping di hutan, apalgi ada sungai yang bisa dipake buat berenang kayak ini :D

    BalasHapus
  4. Semoga hutan INI diperthankan oleh penguasa setempat. Sebagai peyeimbang hutan bwton disekitarnya
    Biar nak cucu tetap bisa camping didalam tenda cantik Dan sederhana serta menyatu DG alam :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak. Semoga tetap bertahan. Status hutan lindung di Batam kerap ditukar guling. Semoga hutan ini tidak terkena hal seperti itu.

      Hapus
  5. pemangku kekusasaan >> ini maksudnya? :D

    btw beneran nginap ya kak?? terus tenda2 itu? di sediain atau bawa sendiri? pancingannya? (atau yudi terlewat pada bagian ini? )

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maksudnya pemerintah Yud. Saya malasnya saja menyebutnya :)

      Ini tenda bawa sendiri dari rumah. Pancing punya orang yang kemping.

      Hapus
  6. Yuk kemping yuk, teh.. Si Lala udah nagih mulu nih ngajakin kemping...
    Eh itu sungainya emang surut ya? Jembatan kayunya sampe keliatan jelas gitu.. Dulu waktu kita ke sana jembatannya sampe gak keliatan di salah satu ujungnya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya kapan kemping bareng ya. Nggak jadi-jadi mulu.

      Air danau di tiap jembatan surut parah banget Dee

      Hapus
  7. Wuiih alamnya masih kinclong banget. Baiklaaah, mari balik ke Batam :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya balik lagi yaa. Kita kan belum sempat ketemuan Cek Yan :)

      Hapus
  8. kompak selalu euy :) 1 tenda bareng bareng di alam bebas, inginnya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga tercapai Neng. Satu tenda dengan pasangan hidup :)

      Hapus
  9. Rasanya, seakan tidak percaya ada hutan lengkap dengan telaga seperti ini, di antara hutan beton kota Batam. Beruntungnya mbak Lina...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mbak Rien. Batam ini kota yang unik memang. Di tengah-tengah kota hutannya masih utuh. Namun tanda-tanda kerusakan sudah dimulai.

      Hapus
  10. selalu seruuu kalau baca tulisan mb lina... tendanya warna warni ya, cantik...

    BalasHapus

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita