Gunung Cikuray, Garut Jawa Barat. |
Dilahirkan dan dibesarkan di sebuah desa yang di kelilingi
oleh gunung-gunung, membuat hati dan
fikiranku selalu terpaut kepada sosok teguh dan angkuh yang bernama gunung. Semenjak
Sekolah Dasar, mulai terbersit keinginan menelusuri lekuk jurang-jurangnya,
merayapi punggungannya, menjelajahi lereng-lerengnya hingga menginjakkan kaki
di titik tertingginya. Namun apa daya, aku hanyalah gadis kecil yang tak
mengerti apa-apa. Hanya punya sebuah hasrat terpendam untuk bertualang ke alam
bebas. Menyimpan rapat-rapat mimpi itu dalam alam bawah sadar.
Sampai suatu saat di usia 19 tahun, beberapa saudara dari Jakarta datang dan
mengajakku mendaki Gunung Cikuray, yang terletak tak jauh dari kampung halamanku
di Garut, Jawa Barat. Inilah momen yang tepat untuk mewujudkan harapan yang
sejak kecil dulu tersimpan dalam ingatan. Tak perlu waktu lama untuk
mengiyakannya, aku langsung menyetujui dan ikut mendaki gunung Cikuray. Belasan
tahun menanti untuk merasakan keseruan mendaki gunung, betapa hormon
kebahagiaan seperti meledak-ledak di seluruh aliran darahku. Inilah awal dari passion, perubahan, dan berani
memutuskan untuk mulai mewujudkan mimpi-mimpi.
Namun malang
tak dapat ditolak, pada pendakian Cikuray ini kami terpisah dan salah mengambil
jalur turun hingga tersesat. Aku dan dua saudaraku kesasar, turun melambung
jauh ke arah kanan melalui hutan yang rapat dan medan curam berjurang-jurang hingga lewat
tengah malam. Untung saja kami menangkap ada cahaya senter dari seorang
peladang di batas hutan. Maka ke sanalah kami menuju.
Sunrise Gunung Cikuray |
Suasana puncak Gunung Cikuray pada pagi hari |
Saat tiba di ladang penduduk, kondisi kami kedinginan,
kehausan, dan kelaparan. Sepasang peladang, suami istri, menolong memberi makan
dan tempat untuk beristirahat sejenak. Dari ladang kami berjalan ke arah sebuah
desa dan mengetuk pintu rumah warga untuk meminta pertolongan. Saat itu jam 3
dini hari. Tanpa rasa curiga dan banyak tanya, yang punya rumah memberi kami susu segar dan tumpangan
untuk tidur. Pada pagi harinya warga desa berdatangan dan membantu kami untuk
bisa pulang ke rumah.
Pengalaman pertama yang cukup mengguncang. Bagaimana tidak,
saat tersesat banyak hal yang membuat akal sehat kami terkadang tidak bekerja.
Berbagai hal mistis yang mengiringi, terjatuh, berguling-guling, terantuk
batang dan akar pohon, kedinginan, kelelahan yang sangat, serta hal-hal yang
kurang menyenangkan lainnya bercampur-baur menjadi satu. Namun semua itu tak
mampu menyurutkan tekadku untuk terus bertualang dan mendaki gunung lagi.
Mewujudkan keinginan untuk berada di puncak-puncak tertinggi negeri ini. Keinginan
yang sempat tertahan beberapa tahun saat aku harus pindah tempat tinggal ke Kota Batam, Kepri, karena
tuntutan pekerjaan.
Dua tahun bekerja di Batam, kerinduan untuk mendaki gunung semakin tak terbendung. Maka meskipun beberapa teman mengundurkan diri tak jadi berangkat, aku dan seorang teman tetap memutuskan mendaki Gunung Kerinci di Provinsi Jambi. Gunung dengan ketinggian 3.805 meter di atas permukaan laut ini merupakan puncak tertinggi di Pulau Sumatera dan merupakan gunung berapi tertinggi di Indonesia.
Tanpa halangan apapun pendakian ke Gunung Kerinci berhasil. Meski
hujan dan mendung sempat mewarnai perjalanan kami. Di sana, aku
bertemu dengan teman-teman baru dari Universitas Andalas Padang yang kemudian
mengajakku untuk melanjutkan pendakian ke Gunung Marapi dan Singgalang di
Sumatera Barat. Tanpa berfikir panjang aku ikut ke Padang dan mendaki kedua gunung tersebut.
Plawangan Sembalun, Gunung Rinjani 2003. |
Kerinduan berjalan di kesunyian hutan, menembus kabut dan hawa dingin masih terus
menggaung dalam fikiran. Gemanya semakin menguat dan terpantul-pantul dalam
kepala. Maka pada tahun berikutnya, tahun 2003, aku memutuskan untuk mendaki
gunung Rinjani di Lombok. Dari Batam, aku bersama seorang teman, Nurdiana, dan
tiba di Jakarta
bertemu dengan rombongan lainnya yang mempunyai tujuan sama.
Pendakian ke Rinjani tak kalah dramatisnya. Saat turun dari
puncak, kami dihadang hujan es dan petir yang jaraknya hanya beberapa centi di
atas kepala. Sebagian yang belum tiba di puncak memutuskan turun saat itu juga
karena kondisi para pendaki yang sangat mengenaskan terkena hipotermia. Aku
bersyukur saat itu aku baik-baik saja.
Seperti candu. Mendaki gunung semakin menjadi addicted. Semakin lama semakin ketagihan
dan susah melepaskan. Bukan kenikmatan saat menggapai puncak-puncaknya, namun selalu
ada keterikatan batin dalam perjalanan menyusuri setiap jalur pendakiannya.
Akar-akar yang mencuat, canopy yang rimbun, bau lumut yang menguar di lembapnya
hutan hujan, dan terseok-seok di pekatnya kabut gunung. Semua itu adalah candu
yang aneh.
Mendaki gunung sungguh semakin menempaku untuk lebih banyak
belajar dan mawas diri. Mendaki gunung, selain merupakan hobby dan olahraga,
juga merupakan seni untuk mengenal diri sendiri. Benar kata orang, bahwa di
gunung kita akan tahu siapa sesungguhnya seseorang itu. Apakah ia teman yang
menyebalkan dan egois, atau sebaliknya ia adalah pribadi yang penolong,
penyayang dan setia kawan. Namun Bagiku, gunung menempaku lebih dari semua itu.
Begitu banyak hal dan kebaikan yang aku dapat dari sebuah pendakian gunung.
Hampir setiap tahun, dengan jatah cuti yang hanya 12 hari
aku selalu menyempatkan diri untuk mendaki gunung. Diselingi pulang ke kampung
halaman yang tetap saja seperti pepatah sambil
menyelam minum air. Sebelum atau sesudah pulang kampung pun masih saja mencuri-curi
waktu untuk mendaki gunung.
Petualangan mendaki gunung semakin membuatku ingin
berinteraksi dengan sesama pendaki. Pada tahun 2004 aku memutuskan bergabung
dalam pendakian bersama High Camp, sebuah komunitas mailing list di Yahoogroups
ke Gunung Ciremai, Jawa Barat. Pendakian yang memberiku banyak teman dan
sahabat hingga sekarang.
Puncak Gunung Sinabung, 2004 |
Agustus tahun 2004 aku dan seorang teman baikku, Lastri, mendaki Gunung Sinabung, Sibayak, dan Pusuk Buhit di Sumatera Utara. Pendakian
yang hampir-hampir membuatku kehilangan nyawa karena mencoba menjajal
tebing-tebing pilar di puncak Sinabung dan hampir membuat Lastri cacat karena
terjatuh di jurang Gunung Pusuk Buhit. Namun bersyukur kami masih tetap
diselamatkan oleh-Nya. Aku selalu ingat motto para pemanjat tebing. “Tuhan
beserta orang-orang yang berani”. Keberanian kami berdua mampu melumpuhkan dan
menaklukan rasa takut yang mungkin akan memperparah keadaan.
Di Puncak Kinabalu, 2005 |
Tahun 2005 aku mendaki Gunung Kinabalu yang terletak di
Negara Bagian Sabah, Malaysia .
Semula ragu karena tidak ada seorang teman pun yang bisa diajak pergi. Namun
keputusan harus tetap dibuat. How far you
will go? You decide! Aku akan tetap pergi dengan atau tanpa kawan.
Pendakian ke Gunung Kinabalu membuatku semakin memahami
bagaimana cara memanfaatkan keberadaan gunung secara komersil namun tetap
menjaga dan memelihara kelestariannya. Keduanya bisa sejalan jika dikelola
secara profesional. Di Kinabalu ini pula aku berkenalan dan satu grup dengan
pendaki dari negara lain seperti Swiss, Australia , Kanada, dan Inggris. Satu
hal yang membuatku envy betapa negeri
jiran ini mampu menggaet sekian banyak turis hanya dengan sebuah gunung ini
saja. Padahal gunung-gunung di Indonesia begitu berpotensi dan tak kalah indahnya untuk dikelola sebijak mungkin.
Gunung Daik, Pulau Lingga, Kepri. Tahun 2006 |
Gunung Pangrango Jawa Barat. Tahun 2007 |
Gunung Papandayan 2012 |
Di Puncak Gunung Semeru, Lumajang, Jawa Timur. 2014 |
Sepuluh tahun kemudian hingga hingga 2015 ini hampir setiap
tahun aku selalu menyempatkan diri untuk mendaki gunung. Bukan mengejar jumlah atau berapa banyak gunung yang telah didaki, namun sungguh karena gunung telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupku. Mengalir seperti darah dan memompa seperti jantung. Kapan akan berhenti mendaki gunung? Dan berapa lagi gunung yang akan aku daki? Entahlah. Karena keinginan sederhana itu selalu menggelora dalam dada.
Dan salah satu mimpiku
yang belum tercapai adalah berdiri di Puncak Cartenz Pyramid (4.884 mdpl) di Pegunungan
Jaya Wijaya, Papua. Puncak tertinggi di Indonesia dan bahkan menjadi salah
satu dari tujuh puncak tertinggi di tujuh benua di dunia. Mimpi sedari kecil yang belum terwujud hingga saat ini.
Perlu sedikitnya 40 juta rupiah untuk sampai di puncak Cartenz. Seorang
kenalan yang kerap menjadi guide di Cartenz Pyramid menawariku dengan biaya 60 juta
rupiah untuk pendakian bulan depan. Dan 60 juta itu bukanlah uang yang sedikit. Perlu menabung bertahun-tahun. Perlu berkorban bertahun-tahun juga. Dan
aku akan berusaha untuk itu. Untuk mimpi yang tak mungkin dibeli. Seandainya diberi umur panjang, kesehatan yang
prima serta keuangan yang cukup, aku masih memimpikan untuk berdiri di puncak tertinggi
negeri ini. Mengulurkan tangan, merengkuh Sang Merah Putih yang berkibar di atas sana..
Gunung Guntur, Garut Jawa Barat. Tahun 2014 |
Puncak Gunung Tambora, Pulau Sumbawa, NTB. 2015 |
You rock mbak ..... i'm ur biggest fan :*
BalasHapusbig hug and kiss :*
Hapusaku mau ke gununggggg T_T nangis nih mbakkk karena yang deket2 pada di tutup coz sementara baru bisa yang deket2, love mountain banget nih dah ngebet pengen ngebolang di gunung lagi
BalasHapusIya betul mbak Ev, sedih banget ya gunung-gunung tempat kita bermain dan belajar malah pada terbakar huhuhu....
HapusIni namanya berbalik dengan saya, saya lahir diantara datarnya tanah, tanpa gunung dan kawah, Rasanya sesekali mau lihat gunung dan kawah, kayaknya enak sekali
BalasHapusHaha...cobalah sekali-kali. Gunung yang pendek-pendek aja kayak Tangkuban Perahu tuh di Bandung. Yang terjangkau oleh kendaraan umum hingga ke atas.
HapusHuah! iri total mbaaakkkk!!
BalasHapusYuk mendaki gunung :D
Hapuskeren mba Lina udah menaklukkan banyak gunung. aku satu pun belum. paling bukit aja :D
BalasHapusAiih menaklukkan cowok sih iya La, klo gunung cuma daki aja gak ditaklukan hehe.
Hapusmbak Lina hebaaaat saya mah enggak kuat jadi pendaki, pernah mendaki bukit di Batu aja udah ngos-ngosan, foto-fotonya cakepppph
BalasHapuskeren mbak...ayo k lombok lgi...naik bukit2 di sekitar rinjani..:)
BalasHapus