Menikmati Keindahan Desa Sembungan Desa Tertinggi di Pulau Jawa

Desa Sembungan Dieng

Ojek yang kami tumpangi meliuk-liuk di jalanan aspal yang di sana-sini tampak berlubang. Cukup dalam dan berbahaya jika kendaraan yang melaluinya sangat laju. Namun hal tersebut tidak mengganggu saya sama sekali. Karena perhatian saya teralihkan penuh pada pemandangan bukit-bukit yang dilalui di sepanjang jalur menuju Desa Sembungan Dieng. 


Hari itu saya dan keluarga baru saja turun dari Gunung Prau dan berniat menginap satu malam lagi di Dieng. Setelah beradu tawar dengan tukang ojek di pangkalan, kami sepakat membayar 30 ribu rupiah per ojek untuk dihantar hingga Desa Sembungan yang terletak di kaki bukit Sikunir atau tepatnya berada di tepi telaga Cebong Dieng. Secara ketinggian, Sikunir sebenarnya adalah gunung namun karena tampak pendek seperti bukit maka masyarakat lokal menyebutnya bukit padahal kalau mengingat ketinggiannya Sikunir dan bukit-bukit di sekitarnya bisa dikatakan sebagai hamparan pegunungan.  


Tiba di tepi danau kami segera mencari tempat untuk mendirikan tenda. Semula hendak membuka tenda tepat di tepi jalan yang berbatasan langsung dengan danau, namun bau pupuk organik begitu menyeruak  menembus hidung dan paru-paru. Sepertinya saya tidak akan kuat. Maka kami menjauh dari tempat pupuk dan memilih mendirikan tenda di sebuah tanah yang menjorok ke tengah danau.

Kemping di Desa Sembungan
Hasil foto iseng Chila

Desa Sembungan
Ramai yang memasang tenda

Adzan ashar berkumandang. Saya sempat terheran-heran. Begitu pun beberapa orang di tenda sebelah yang hendak sholat ashar. Dia ragu apakah adzan tersebut adzan ashar atau maghrib karena waktu sudah menunjukkan jam 5 sore. Saya mendadak teringat cerita adik yang tinggal di Ngawi. Menurut adik saya adzan ashar di kampungnya jam 5 sore bertepatan dengan orang pulang dari sawah. Kalau adzan jam empat atau setengah empat malah yang adzan dimarahin. Haha lucu, tapi masa sih jadwal sholat menyesuaikan dengan jadwal pulang nyawah. Ada-ada saja.


Ketika saya ceritakan pada tetangga tenda mereka manggut-manggut tanda mengerti. Saya pun yakin soalnya matahari belum tenggelam sepertinya tidak masuk akal kalau adzan maghrib. Kebetulan memang belum salat ashar jadi buru-buru ambil air wudhu dan sholat di mushola yang tak jauh dari lokasi kemping.


Senja tampak ceria. Langit cerah dan warnanya masih membiru. Awan-awan saling berkejaran.sesekali menutupi matahari yang mulai membiaskan lembayung di tepi bukit-bukit dikejauhan.


Sementara Chila dan ayahnya mulai asyik berbenah dan membeli kayu bakar. Malam akan terasa dingin sekali di sini, dan penduduk dengan sigap memnafaatkannya dengan menjual kayu bakar yang telah dipotong-potong lalu diikat. Harga satu ikat kayu sebesar 10 ribu rupiah. Entah mahal atau murah yang jelas membuat perapian di malam hari nanti akan sangat membantu dan menjaga agar suhu tubuh kami tetap hangat dalam beberapa saat.


Karena kami cukup kelelahan selepas mendaki gunung Prau, maka tak cukup waktu lama kami segera tertidur pulas di tenda. Meringkuk bertiga. Meskipun tenda berkapasitas untuk dua orang namun karena badan saya dan Chila kecil jadi masih muat untuk tidur terlentang bertiga.


Jam dua dini hari alarm berbunyi. Saya mengais-ngais di kegelapan. Mencari headlamp dan perlengkapan lainnya yang hendak di bawa ke Bukit Sikunir. Subuh itu saya berniat menyaksikan sunrise di puncak Sikunir yang hanya berjarak 20 menit perjalanan dari  tempat kami berkemah. Chila dan ayahnya sudah dari kemarin bilang bahwa tidak berminat naik Sikunir, jadi hanya saya saja sendiri.


Seperti dugaan, saya memang tidak akan sendiri mendaki Sikunir. Telah ratusan orang yang bangun pada waktu yang sama dengan saya. Bergerak beriringan meniti jalur yang bertangga-tangga di antara gelapnya malam. Tulisan tentang Sikunir saya tulis di artikel berjudul Lagu Kebangsaan Indonesia Raya Berkumandang di Puncak Sikunir


Pagi setelah menyaksikan sunrise di Sikunir, saya membeli beberapa penganan khas seperti kue pancong dan bubur. Ketika sampai di tenda, Chila dan ayahnya masih bermalas-malasan di tenda. Duh hawa dingin emang cocok buat tidur lagi kayaknya.

Kue Pancong
Kue Pancong hangat

Chila dan payung merah
Chila Berpayung

Desa Sembungan Dieng
Kami Sekeluarga

Bermain-main di tepi danau dan menyaksikan suasana perbukitan di sekeliling rasanya teramat malas untuk beranjak. Namun waktu kami sudah tidak cukup lagi. Esok akan kembali ke Batam sementara pesawat berangkat dari Jogja. Duuh masih 3 hingga 4 jam perjalanan  naik bis dari tempat ini.


Dengan menyewa ojek dan meminta mengantarkan ke beberapa spot menarik di Dieng, kami meninggalkan Desa Sembungan. Dari awal keberangkatan saya ingin sekali bertemu anak gimbal yang kisahnya bagai sebuah dongeng hidup. Dan kebetulah pemilik ojek yang mengantarkan kami adalah seorang bapak yang anaknya berambut gimbal. Syukurlah jadi kami bisa dekat-dekat dan mengobrol dengan anak gimbal dan ayahnya.

Desa Sembungan Dieng
Gerbang Desa Sembungan


Waktu kami tidak banyak setelah meninggalkan Desa Sembungan kami langsung menuju Telaga Warna dan Kawah Sikidang. Setelah itu langung dihantar ke terminal untuk menuju ke Wonosobo dan meneruskan dengan menaiki Bis menuju Magelang lalu Jogjakarta. 

16 komentar :

  1. Aaduuh, Chila, ajakin Abang Ramu doong ke Sembungan jugaa. ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sini Dek Ranu biar Kakak gendong katanya, lalu diculik ke Batam :D

      Hapus
  2. Saat dulu ke dieng, sempat. Mupeng utk camping di area telaga cebongan juga. Tapi sayang hny sehari di sana

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya juga gak puas nih Mbak cuma sehari doang

      Hapus
  3. Itu di ketinggian berapa kira2 teh?

    BalasHapus
  4. Masyaallah mba senangnya bisa berpetualang dengan keluarga ya.

    BalasHapus
  5. Kereeeen. Pingin banget bisa refreshing keluarga kaya' gini. :D Sayangnya suami gak suka. :(

    BalasHapus
  6. Bagus ya mbak pemandangan di Desa Sembungannya. Ada Telaga Cebongnya lagi, hehehe. Buat ngecamp cocok di pinggir Telaga Cebongnya :-)

    BalasHapus
  7. Aaahh kereeeenn !! *cuma bisa iri

    BalasHapus
  8. mbak biasanay ada jadwal khusus gak kalau mau naik guung bareng keluarga?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggak ada sih Mbak Lid. Palingan nungguin kalau Chila libur panjang.

      Hapus

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita